Rabu, 17 November 2010

ADR

BAB I

PENDAHULUAN

Sejak dahulu masyarakat mengenal apa yang disebut dengan perikatan, baik yang lahir karena undang-undang maupun karena perjanjian. Dengan terikatnya para pihak dalam suatu perjanjian, maka para pihak harus melaksanakannya karena setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku seperti undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Akan tetapi, kadangkala dalam pelaksanaannya mungkin saja mengalami hambatan-hambatan yang pada akhirnya mempengaruhi tujuan dari perjanjian yang mereka buat. Bahkan lebih berat lagi dapat menimbulkan perselisihan atau konflik akibat tidak dapat dilaksanakannya perjanjian itu oleh salah satu pihak.

Ada berbagai macam cara untuk memperoleh kesepakatan dalam menyelesaikan sengketa atau konflik yang mereka hadapi.dalam perkembangannya, masyarakat yang semain modern meninggalkan cara-cara lama (yang merupakan kebiasaan) dan beralih ke cara-cara hukum/yuridis sehingga warga masyarakat tampak secara berangsur-angsur mulai menggunakan cara penyelesaian sengketa yang diakui pemerintah.

Cara penyelesaian sengketa yang selama ini kita kenal adalah cara penyelesaian secara yuridis dan nonyuridis, dan ada pula yang menyebutnya cara malalui pengadilan dan tidak melalui pengadilan. Cara yuridis, nonyuridis dan cara melalui pengadilan, tidak melalui pengadilan ini pada prinsipnya sama saja, tergantung dari sudut mana kita meninjaunya.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau yang lazim disebut Alternative Dispute Resolution (ADR) mempunyai prosedur yang lebih sederhana dengan jangka waktu yang singkat, dan pemeriksaan perkara dilakukan secara tertutup. Keuntungan penyelesaian dengan cara tersebut adalah putusannya bersifat final (tanpa kemungkinan banding) dan mengikat kedua belah pihak. Selain itu para pihak yang berperkara dapat menunjuk atau memilih sendiri pihak ketiga yang dipandang memiliki keahlian untuk menyelesaikan sengketa. Di Indonesia peraturan mengenai penyelesaian sengketa di luar pengadilan diatur dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (tanggal 12 Agustus 1999). Adapun penyelesaian sengketa di luar pengadilan terdiri dari:

1. Negosiasi, dalam bahasa sehari-hari kata negosiasi sering disebut dengan istilah “berunding” atau “bermusyawarah” sedangkan orang yang mengadakan perundingan disebut negosiator. Secara umum negosiasi dapat diartikan sebagai suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerjasama yang lebih harmonis dan kreatif, disini para pihak berhadapan langsung secara seksama dalam mendiskusikan permasalahan yang dihadapi dengan cara kooperatif dan saling terbuka.[1]

Pada umumnya proses negosiasi merupakan suatu proses alternatif penyelesaian sengketa yang bersifat informal, tidak ada suatu kewajiban bagi para pihak untuk melakukan pertemuan secara langsung, pada saat negosiasi dilakukan negosiasi tersebut tidak harus dilakukan oleh para pihak sendiri. Melalui negosiasi para pihak yang berselisih atau bersengketa dapat melakukan suatu proses penjajakan kembali akan hak dan kewajiban para pihak dengan melalui suatu situasi yang sama-sama menguntungkan “win-win solution“ dengan melepaskan atau memberikan kelonggaran (concession) atas hak-hak tertentu berdasarkan pada asas timbal balik.

2. Mediasi atau dalam bahasa Inggris disebut dengan mediation adalah penyelesaian sengketa dengan menengahi, sedangkan mediator adalah orang yang menjadi penengah. Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator atau terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat. Dengan kata lain mediasi yaitu proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu memperoleh kesepakatan perjanjian secara memuaskan.

3. Konsiliasi, adalah proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkan kepada komisi orang-orang yang bertugas untuk menguraikan/menjelaskan fakta, membuat usulan-usulan untuk suatu penyelesaian namun keputusannya tidak mengikat.

4. Arbitrase, adalah cara penyelesaian sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersangkutan.

Dalam praktek kenyataannya, orang-orang yang bersengketa di Indonesia lebih banyak memilih penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase karena mereka menganggap proses penyelesaian dalam arbitrase dinilai lebih cepat dan hemat biaya, dengan menyerahkannya kepada wasit/arbitrase yang dianggap memiliki keahlian mengenai persoalan yang dipersengkatakan serta keputusannya bersifat rahasia (hanya diketahui oleh para pihak saja). Sedangkan lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan lainnya seperti negosiasi, mediasi, dan konsiliasi masih jarang digunakan dan kurang familiar. Maka dalam makalah ini kami lebih banyak membahas tentang arbitrase.

B. Pengertian Arbitrase

Arbitrase menurut Frank Elkoury “suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.”[2]

Menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum, Pasal 1 huruf 1, arbitrase adalah “cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”

Menurut peraturan prosedur BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia), arbitrase adalah memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul mengenai perdagangan, industry, keuangan, baik yang bersifat nasional maupun internasional. (Pasal 1 AD BANI).[3]

Dan peraturan prosedur BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia), arbirase adalah penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan perdagangan, industry, keuangan, jasa dan lain-lain serta memberikan suatu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan yang berkenaan dengan perjanjian (Pasal 1 AD BAMUI).[4]

Berbagai pengertian arbitrase di atas menunjukan adanya unsur-unsur yang sama, yaitu:

1. Adanya kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa-sengketa, baik yang akan terjadi maupun telah terjadi, kepada seorang atau beberapa orang pihak ketiga di luar peradilan umum untuk diputuskan.

2. Penyelesaian sengketa yang dapat diselesaikan adalah sengketa yang menyangkut hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya, khususnya disini dalam bidang perdagangan, industri dan keuangan, dan

3. Putusan tersebut akan merupakan putusan akhir dan mengikat (final and binding)

C. Asas dan Tujuan Arbitrase

Sehubungan dengan definisi arbitrase di atas, terlihat bahwa penyelesaian perselisihan melalui arbitrase terdapat pihak-pihak yang berselisih sebagai akibat hukum yang terjadi dalam bidang bisnis dan industri. Di dalam perselisihan tersebut, mereka sepakat untuk menyelesaikan perselisihan mereka dengan menunjuk satu atau beberapa orang arbiter. Dengan demikian, asas-asas yang dapat dipetik dari perumusan definisi di atas adalah sebagai berikut:

1. Asas kesepakatan. Artinya kesepakatan para pihak untuk menyeselaikan perselisihan secara damai, seia-sekata atau sepaham untuk menunjuk seorang atau beberapa orang arbiter.

2. Asas musyawarah, yaitu setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara musyarawah baik antara arbiter dengan para pihak maupun antar pihak arbiter itu sendiri.

3. Asas limitatif, yaitu adanya pembatasan dalam penyelesaian perselisihan melalui arbitrase terbatas pada perselisihan-perselisihan di bidang perdagangan/bisnis dan industri atau hak-hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya oleh para pihak dalam klausula atau perjanjian arbitrase mereka.

Sehubungan dengan asas tersebut, tujuan arbitrase itu sendiri adalah untuk menyelesaikan perselisihan dalam bidang perdagangan/bisnis dan industri, dan hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya oleh para pihak dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil, tanpa adanya formalitas atau prosedur yang berbelit yang dapat menghambat penyelesaian perselisihan.

Secara umum dinyatakan bahwa lembaga arbitrase mempunyai kelebihan di bandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain:

1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak.

2. Dapat dihindarkan kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedur dan administratif.

3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengkatan, jujur, dan adil.

4. Para pihak dapat menentukan tempat penyelenggaraan arbitrase, dan

5. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja atau pun dapat langsung dilaksanakan

Lembaga Arbitrase

Lembaga yang dimaksudkan disini adalah suatu badan yang sengaja diadakan atau didirikan untuk menyelesaikan sengketa/perselisihan. Menurut pasal 1 angka 8 UU No. 30 tahun 1999, lembaga arbitrase adalah “badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau Lembaga Arbitrase untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase”.

Beberapa lembaga arbitrase bersifat nasional, regional, dan internasional yang dikenal adalah:

1. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI);

2. Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI);

3. Asia-Africa Legal Consultative Commite (AALCC);

4. The International Centre fot Settlement of Invesment Disputes;

5. The Court of Arbitrasetion if The International Chamber of Commerce (ICC);

6. Austria: The Arbitral Center of The Federal Economic Chamber;

7. India: The Indian Council of Arbitration;

8. Italia: Associazione Italliaana per l’Arbitrato;

9. Jepang: The Japan Commercial Arbitration;

10. Nederland: The Nederlands Arbitration;

11. Polandia: the Court of Arbitration at the Polish;

12. Rumania: The Foreign trade Arbitration Commission;

13. Swedia: The Stokholm Arbitration Institute;

14. Switzerland: The Court of Arbitration of the Zurich Chamber of Commerce;

15. USA: The American Arbitration Association.

Arbiter

Undang-undang arbitrase tidak menentukan siapa yang dapat menjadi arbiter. Tetapi pasal 12 undang-undang arbitrase menentukan beberapa persyaratan untuk menjadi arbiter. Persyaratan tersebut antara lain:

1. Memiliki kapasitas yang diakui oleh hukum Indonesia.

2. Minimal berumur 25 tahun.

3. Tidak memiliki hubungan apapun dengan para pihak, termasuk hubungan keluarga atau keuangan, dan

4. Harus memiliki kewenangan selama 15 tahun di bidangnya.

Undang-undang arbitrse menentukan bahwa hakim, jaksa, dan pejabat pengadilan lainnya tidak berwenang untuk bertindak sebagai arbiter. Sama dengan itu, Rv juga mengatur persyaratan untuk arbiter tetapi tidak menyebutkan persyaratan wajib memiliki pengalaman yang cukup lama dalam bidangnya (yaitu 15 tahun pengalaman). Hal ini merupakan ketentuan baru dan positif dalam undang-undang tersebut guna mencapai solusi yang memuaskan.

Menurut Rv, setiap pihak dapat menentang arbiter yang dipilih “karena alasan alasan tertentu setelah pencalonan”.[5] Menurut undang-undang arbitrase, ketentuan ini tidak banyak berubah. Namun, sebelum perlawanan diajukan, para pihak memiliki cukup bukti yang dapat menimbulkan keragu-raguan bahwa arbiter (yang ditunjuk oleh para pihak lain) tidak akan bebas atau lepas dalam membuat putusan. Perlawanan terhadap arbiter juga dapat dibuat jika terdapat bukti bahwa arbiter yang ditunjuk memiliki hubungan keluarga, financial atau hubungan kerja dengan salah satu pihak atau kuasanya.

Undang-undang arbitrase memberikan kebebasan bagi para pihak untuk membuat perjanjian mengenai jumlah arbiter untuk menyelesaikan sengketa. Tetapi undang-undang tersebut juga secara implicit menunjuk satu atau tiga arbiter.

Apabila para pihal gagal untuk memilih arbiternya, maka ketua Pengadilan Negeri dimana arbitrase dilangsungkan dapat memilih arbiter untuk para pihak.

Penunjukan Arbiter

Jika jumlah arbiter tiga orang, arbiter yang dipilih oleh masing-masing pihak dapat memilih arbiter ketiga sebagai presiden atau ketua majlis atau dewan arbitrase. Jika hanya ada satu arbiter yang dipilih oleh salah satu pihak sedangkan pihak lain gagal atau tidak dapat memilih arbiter, arbitrase itu harus diketuai oleh arbiter tunggal tersebut.

Arbiter memiliki hak untuk menerima atau menolak penunjukannya untuk menjadi arbiter. Apabila ia menolak atau menerima penunjukannya maka dia wajib melaporkan secara tertulis kepada para pihak dalam jangka waktu 14 hari sejak tanggal penunjukan.

Jika penolakan tersebut diterima oleh para pihak, penunjukan arbiter baru dilakukan sesuai dengan aturan yang tersedia untuk penunjukan arbiter sebelumnya. Dalam melaksanakan tugasnya seorang arbiter tidak diperbolehkan mengundurkan diri kecuali dengan persetujuan para pihak.

Apabila para pihak menyetujui pengunduran diri arbiter tersebut, maka harus dibuat dalam keputusan ketua Pengadilan Negeri.

Tempat Arbitrasi

Ketentuan tentang tempat arbitrase merupakan hal yang baru. Rv tidak mengatur masalah ini. Menurut pasal 37, tempat arbitrase akan ditentukan oleh para pihak. Namun arbitrase dapat mendengar pendapat ahli di luar dari tempat yang telah disepakati. Penyelidikan keterangan saksi ahli atau ahli dilakukan sesuai dengan Rv. Arbitrase juga dapat bersidang di tempat dimana obyek atau benda tersebut berada.

Ketentuan baru yang lain dalam prosedur arbitrase yang digambarkan dalam undang-undang, yakni:

a. Prosedur arbitrase harus dilakukan secara tertutup,

b. Bahasa yang digunakan dalam proses arbitrase adalah bahasa Indonesia, keculai apabila disepakati lain oleh para pihak,

c. UU menjamin bahwa masing-masing memiliki kesempatan dan hak yang sama untuk didengarkan dalam proses arbitrase,

d. Pihak ketiga dapat ikut serta dalam arbitrase jika ia memiliki kepentingan dalam sengketa dan diizinkan oleh arbiter.

Pasal 45 mensyaratkan bahwa dalam menyelesaikan suatu sengketa, arbiter harus pertama-tama mencari penyelesaian secara damai. Jika para pihak pada akhirnya setuju dan menyelesaikan sengketa tersebut, arbiter harus mencantumkan putusan yang mengikat para pihak.

Berdasarkan pasal 46, apabila penyelesaian gagal, proses arbitrase terus berlangsung. Dalam hal ini, para pihak diminta untuk memasukkan pembelaan secara tertulis dan bukti-bukti dalam jangka waktu yang ditentukan arbiter.

Pada umumnya, arbiter akan membuat putusan berdasarkan pembelaan tertulis, bukti-bukti dan dokumen-dokumen lain. Keseluruhan proses arbitrase dan pembuatan putusan memakan waktu selama 180 hari (6 bulan). Namun arbiter dapat memperpanjang batas waktu tersebut. Batas waktu 6 bulan juga terdapat dalam Rv.

Prosedur Arbitrase

Apabila para pihak telah setuju/sepakat untuk mengajukan sengketa mereka kepada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau dalam klausula arbitrase telah diperjanjikan bahwa sengketa yang timbul akan diselesaikan menurut peraturan prosedur BANI dan diperjanjikan pula akan diselesaikan oleh para arbiter yang ditunjuk oleh badan tersebut, prosedurnya adalah sebagai berikut:

1. Permohonan Arbitrase

Prosedur arbitrase menurut Peraturan Prosedur Arbitrase BANI (yang berlaku mulai tanggal 3 Desember 1977, diperbaiki tanggal 3 Desember 1980), dalam tahap pertama dimulai dengan mengajukan permohonan arbitrase, dan surat permohonan tersebut akan didaftarkan oleh sekretaris BANI dalam suatu register yang khusus untuk itu. Surat permohonan tersebut harus memuat:

a. Nama lengkap dan tempat tinggal (tempat kedudukan) kedua belah pihak yang berselisih,

b. Uraian singkat tentang duduknya perkara, dan

c. Apa yang dituntut.

Pada surat permohonan itu harus dilampirkan salinan naskah atau akta perjanjian yang secara khusus menyerahkan pemutusan sengketa kepada arbiter/majlis arbitrase (akta kompromis), atau perjanjian yang memuat klausula bahwa sengketa yang akan timbul dari perjanjian tersebut akan diputus oleh arbiter/majlis arbitrase (pactum de comprometindo).

2. Para Pihak Tidak Menunjuk Arbiter

Apabila para pihak tidak menunuk seorang arbiter, maka ketua BANI akan menunjuk (membentuk) suatu tim yang terdiri atas tiga orang arbiter yang akan memeriksa dan memutus sengketanya. Jika sengketa itu dianggap sederhana dan mudah, ketua BANI akan menunjuk seorang arbiter tunggal untuk memeriksa dan memutusnya. Arbiter yang ditunjuk oleh ketua BANI itu dipilih dari para anggota tidak tetap (arbiter) BANI.

3. Proses Pemeriksaan dan tenggang waktu yang diperlukan

Menurut Undang-Undang No.30 Tahun 1999, para pihak dalam suatu perjanjian tegas tertulis bebas untuk menentukan acara (proses pemeriksaan) arbitrase yang digunakan dalam persidangan sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 30 Tahun 1999 tersebut. Demikian juga para pihak bebas menentukan jangka waktu dan tempat diselenggarakannya pemeriksaan/persidangan, termasuk arbiter atau majelis arbitrase yang akan memutuskan.

Berbeda dengan ketentuan UU No. 30 Tahun 1999, peraturan prosedur BANI mengatur secara lengkap proses pemerikasaan dan tata cara yang diperlukan. Proses pemeriksaan dan tata cara menurut peraturan prosedur BANI yang akan diberlakukan apabila memang para pihak bersepakat untuk menggunakannya.

Jelasnya proses pemeriksaan dan tata cara menurut peraturan prosedur BANI adalah sebagai berikut.

Segera setelah diterima jawaban dari si termohon, atas perintah Ketua BANI, salinan jawaban tersebut diserahkan kepada pemohon. Bersamaan dengan itu, Ketua BANI memerintahkan kepada kedua belah pihak untuk menghadap di muka siding arbitrase pada waktu yang ditetapkan selambat-lambatnya 14 hari terhitung mulai dari dikeluarkannya perintah itu dengan pemberitauhan bahwa mereka boleh mewakilkan pada seorang kuasa dengan surat kuasa hukum.

Apabila si termohon, setelah lewat 30 hari sebagaimana disebutkan dalam perintah pertama Ketua BANI, tidak menyampaikan jawabannya, Ketua BANI akan memerintahkan memanggil kedua belah pihak dengan cara seperti disebutkan di atas. Dalam jawabannya, atau paling lambat dalam sidang pertama, si termohon dapat mengajukan tuntutan balasan. Tuntutan balasan ini oleh majelis akan diperiksa dan diputus bersama-sama dengan tuntutan asli si pemohon.

Putusan Arbitrase

Menurut pasal 54 undang-undang arbitrase, putusan harus memuat syarat-syarat sebagai berikut:

a. Kepala putusan

b. Nama sengketa

c. Deskripsi sengketa (pokok sengketa)

d. Argument para pihak

e. Nama dan alamat arbiter

f. Pertimbangan arbiter dan kesimpulan

g. Pendapat arbiter

h. Amar putusan

i. Tanggal dan tempat putusan dikeluarkan

Dasar Hukum Arbitrase

Dasar hukum yang digunakan untuk berabitrase, baik dalam kerangka arbitrase nasional maupun arbitrase internasional, adalah:

1. UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa Umum,

2. UU No. 5 tahun 1968 tentang Persetujuan Atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal,

3. Keputusan Presiden No. 34 tahun 1981 tentang Pengesahan Konvensi New York 1958,

4. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1990 Mengenai Peraturan Lebih Lanjut dan Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Asing,

5. Rv yang dalam pasal 615 dinyatakan bahwa “adalah diperkenankan kepada siapa saja yang terlibat dalam suatu sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam kekuasaannya untuk melepaskannya untuk menyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada seorang atau beberapa orang asing”.

Pembatalan Putusan Arbitrase

Pasal 70 Undang-undang no.30 tahun 1999 memuat ketentuan tentang persyaratan secara limitative mengenai pembatalan arbitrase, yaitu:

a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dilakukan, diakui palsu atau dinyatakan palsu

b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau

c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

DAFTAR PUSTAKA

· Sudiarto, et.al, Mengenal Arbitrase, 2004, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

· Syaiful Watni, et. al, Analisis dan Evaluasi Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase (UU No. 30 Tahun 1999), 2006, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI.



[1] Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis: Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 88.

[2] Sudiarto, et.al, Mengenal Arbitrase, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 29.

[3] Sudiarto, et.al, Mengenal Arbitrase, hal. 30.

[4] Sudiarto, et.al, Mengenal Arbitrase, hal. 30.

[5] Syaiful Watni, et. Al, Analisis dan Evaluasi Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase (UU No. 30 Tahun 1999), Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, 2006, hal. 13

Minggu, 15 November 2009

KEDUDUKAN WALI DALAM PERKAWINAN

KEDUDUKAN WALI DALAM PERKAWINAN

A. Pengertian Wali
Menurut bahasa, wali adalah orang yang menurut hukum dapat diserahi kewajiban untuk mengurus, mengasuh, memelihara, mengawasi dan menguasai suatu persoalan. Perwalian disebut juga wilayah yang berarti penguasaan dan perlindungan.
Sedangkan menurut istilah, wali adalah pertanggung jawaban tindakan, pengawasan oleh orang dewasa yang cakap terhadap orang yang ada di bawah umur dalam hal pengurusan diri pribadi seseorang dan harta kekayaan.
Sebagian ulama, terutama dari kalangan Hanafiah, membedakan perwalian ke dalam tiga kelompok, yaitu perwalian terhadap jiwa (al-walayah ‘alan nafs), perwalian terhadap harta (al-walayah ‘alal mal), serta perwalian terhadap jiwa dan harta sekaligus (al-walayah ‘alan nafsi wal mali ma’an).
Perwalian dalam nikah tergolong ke dalam al-walayah ‘alan nafs, yaitu perwalian yang bertalian dengan pengawasan terhadap urusan yang berhubungan dengan masalah-masalah keluarga seperti perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan anak, kesehatan, dan aktivitas anak (keluarga) yang hak kepengawasannya pada dasarnya berada di tangan ayah, atau kakek, dan para wali yang lain.
Perwalian yang berkenaan dengan manusia dalam hal ini masalah perkawinan disebut wali nikah. Wali nikah adalah orang yang berkuasa mengurus, memelihara yang ada di bawah perwaliannya atau perlindungan-nya.
Maksudnya seseorang yang secara hukum mempunyai otoritas terhadap seseorang
lantaran memang mempunyai kompetensi untuk menjadi pelindung serta mampu berbuat itu. Sedang seseorang membutuhkan wali, untuk melindungi kepentingan serta haknya lantaran ia merasa tidak mampu berbuat tanpa tergantung pada pengaruh orang lain.
Siapa yang membutuhkan perwalian ini dalam sebuah perkawinan, tampaknya juga masih belum disepakati secara bulat oleh para ulama ahli hukum. Memang ada beberapa perbedaan antara mazhab satu dengan lainnya. Tapi secara umum, seseorang itu membutuhkan wali lantaran: belum dewasa, kurang ingatan, kurang berpengalaman untuk memikul tanggung jawab.
Dengan demikian wali memiliki tanggung jawab yang besar, karena telah dikukuhkan oleh hukum (agama) dan apabila dilihat berdasarkan kedudukannya, wali tidak begitu saja melimpahkan wewenangnya kepada orang lain yang tidak berhak, karena untuk menjadi wali harus ada kaitannya dengan struktur keluarga (hubungan nasab). Disamping itu wali juga sebagai rukun dan syarat dalam
melangsungkan perkawinan.

B. Pandapat Ulama
1. Pendapat Imam Abu Hanifah
Di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat di dalam harus atau tidak adanya wali dalam nikah, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa sah nikah wanita dewasa yang berakal tanpa adanya wali, wanita dewasa dapat menjadi wali dalam nikahnya juga nikah wanita lain, dengan syarat calon suaminya sekufu, dan maharnya tidak kurang dari mahar yang berlaku pada masyarkat sekitar. Apabila wanita itu menikah dengan orang yang tidak seskufu dengannya maka walinya boleh membatalkan nikah.
2. Pendapat Jumhur (Imam Syafi,i, Maliki dan Hanbali)
Pendapat jumhur ulama (Imam Syafi’i, Maliki dan Hanbali) berpendapat bahwa nikah tidak sah tanpa adanya wali.
Sebagian besar ulama fikih berpendapat bahwa seorang perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri atau orang lain. Jika dia menikah tanpa wali, maka pernikahannya batal atau tidak sah. Dan ini merupakan pendapat banyak sahabat seperti Ibnu Umar, Ali Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan Aisyah r.a. Dan begitu juga menurut Said bin Musayyab, Umar bin Abdul Aziz, Jabir bin Zaid, Tsauri, Ibnu Abi Layla, Ibnu Syibrimah, ibnu Mubarok, Ubaidullah bin Anbari, Ishaq dan Abu Ubaidah.



C. Argumentasi dan kerangka berfikir para ulama
Adapun argumentasi yang dikemukakan oleh Jumhur ulama fikih tersebut, menurut Sayyid Sabiq,adalah:
1. Hadis Nabi riwayat Abu Musa yang berbunyi “La nikaha illa bi Waliyyin”
dan hadis Nabi riwayat ‘Aisyah yang berbunyi ”Ayyuma imraatin nakahat bighairi izdni waliyyiha fanikahuha batil...”. Berbeda dengan Abu Hanifah, asy-Syafi’i berpendapat bahwa hadis ahad yang dijamin keasliannya (sahih) boleh diterima dan harus didahulukan daripada analisis akal pikiran.
2. Perkawinan itu mempunyai beberapa tujuan untuk membentuk kehidupan rumah tangga yang sakinah, dan di dalam kehidupan biasanya laki-laki lebih mampu untuk menjaga tujuan ini, adapun wanita kemampuannya biasanya terbatas oleh faktor-faktor psikologis,lingkungan dan lainnya, maka sebaiknya pelaksanaan akad nikah diserahkan kepada walinya. Oleh sebab itu ia tidak boleh melakukan akad nikah secara langsung. Akad nikah harus dilakukan oleh walinya supaya tujuan perkawinan dapat tercapai secara sempurna.
3. Asy-Syafi’i hidup di Baghdad dan Mesir yang mana di kedua daerah tersebut, para wanita dinikahkan ketika menginjak baligh atau sesudah mengalami menstruasi yaitu pada kisaran 10-15 tahun. Tentu saja seorang gadis pada masa seperti itu belumlah bisa memutuskan sesuatu yang sepenting nikah oleh cara pikirannya sendiri. Bahkan di abad modern, perempuan pada usia 10-15 tahun masihlah dianggap anak-anak dan belum dewasa.
Berbeda dengan pendapat mayoritas ulama fikih tersebut, Imam Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf berpendapat bahwa perempuan dewasa yang berakal sehat memiliki hak melaksanakan akad nikah langsung tanpa wali, baik gadis maupun janda, baik menikah dengan laki-laki yang sekufu atau tidak.
Adapun argumentasi yang diajukan oleh Abu Hanifah dan Abu Yusuf adalah:
1. Nash Quran surat al Baqarah ayat 232yang artinya :
Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya…(al-Baqarah: 232)
2. Asy-Syafi’i menggunakan hadis ahad yang menyatakan tidak sah suatu pernikahan kecuali atas izin walinya.”La nikaha illa bi wali.” Sedangkan Abu Hanifah, tidak mau menerima hadis ini karena dinilai tidak memenuhi syarat untuk dijadikan hujjah atau dalil. Sebabnya, menurut Abu Hanifah, sebuah hadis yang bisa diterima haruslah mencapai tingkatan mutawatir, yaitu hadis Nabi yang tidak mungkin terjadinya penipuan atau kebohongan atas hadis yang dibawa.

3. Perempuan bebas melakukan akad jual-beli dan akad-akad lainnya, karena itu ia bebas melakukan akad nikahnya. Karena tidak ada perbedaan hokum antara akad nikah dengan akad-akad lainnya.
4. Hadis-hadis yang mengaitkan sahnya perkawinan dengan ijin wali bersifat khusus, yaitu ketika sang perempuan yang akan menikahkan dirinya itutidak memenuhi syarat untuk bertindak sendiri, misalnya karena masih belum dewasa atau tidak memiliki akal sehat.
5. Berbeda dengan asy-Syafi’i, Abu Hanifah hidup di Kota Kufah, di masa banyak pemalsuan hadis yang terjadi di tengah Kufah yang sudah menjadi kota kosmopolitan. Perempuan Kufah pada masa itu sudah terbiasa melakukan nikah pada kisaran 18-22 tahun, sebuah takaran umur yang lebih dewasa dari pada takaran usia nikah di Baghdad. Pada umur segitu, para wanita tentu sudah bisa mandiri dalam mengambil keputusan sehingga ia bisa menentukan jalan hidupnya sendiri. Maka dari itu Abu Hanifah berpendapat bahwa perempuan muslim berhak untuk menikahkah dirinya sendiri walau walinya tidak setuju atau tidak mengetahuinya.
Meskipun terdapat pendapat yang membolehkan perempuan dewasa dan memiliki akal sehat untuk melakukan pernikahan sendiri, namun pendapat ini bukanlah pendapat yang diterima dan berlaku secara umum di dunia muslim. Di Indonesia, misalnya, dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa wali merupakan salah satu rukun perkawinan, dan tanpa wali perkawinan tidak sah.
Pada era modern ini terdapat pemikiran tentang masalah perwalian dalam perkawinan dari seorang ilmuan yang bernama Mohammed Arkoun, Untuk mengkaji ulang masalah perwalian dalam perkawinan dengan kaca mata Arkoun, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengkaji praktek sejarah yang pernah terjadi pada masa tersebut, demi melakukan pembongkaran (dekonstruksi) terhadap konsep perwalian dalam perkawinan yang berlaku selama ini, yaitu untuk mengetahui kebiasaan yang dominan pada saat itu, yang mempengaruhi pembentukan pemikiran hukum Islam tentang wali bagi perempuan dalam perkawinan.
Dari perkawinan di Arabia pra-Islam hingga awal Islam terdapat pergeseran peran wali di dalam perkawinan seiring dengan perubahan status perempuan dalam perkawinan yang sedang diperjuangkan oleh Islam pada saat itu.
Pada masa arab pra Islam terdapat perkawinan ba’al yang menggunakan pembayaran mahar oleh peminang kepada wali perempuan yang sebenarnya mengikuti logika jual-beli. Dalam hal ini, wali perempuan sebagai penjual, sang peminang sebagai pembeli, dan sang perempuan sebagai barang yang dijual. Hal ini sangat mungkin dipengaruhi oleh kondisi kehidupan perdagangan yang cukup pesat di Mekkah pada saat itu.
Konsep perkawinan yang mengikuti logika jual-beli tersebut, kemudian diperbarui oleh Islam dengan memperbaiki makna mahar yang sebelumnya dianggap sebagai harga pembelian bagi seorang perempuan yang dinikahi, menjadi pemberian yang tidak disertai dengan harapan menerima imbalan apa pun, sebagai bukti rasa cinta dan ikatan kekerabatan serta kasih sayang dan mengatur pemberian mahar kepada perempuan. Tujuan al-Qur’an dalam hal yang terakhir ini adalah untuk mentransfer istri dari posisi sebagai objek penjualan menjadi seorang pelaku kontrak yang sebagai ganti karena dia telah memberikan hak untuk berhubungan seksual dengan dirinya, berhak mendapatkan mahar.
Akan tetapi, spirit al-Qur’an tersebut tampaknya masih sulit untuk ditangkap dengan baik oleh kebiasaan yang berlaku pada saat itu. Akibatnya, konsep perkawinan pada masa awal Islam masih menyesuaikan dengan kultur patriarkal dan norma-norma androsentris yang mendominasi pada saat itu. Dalam pengertian bahwa wali yang menikahkan perempuan tetap ada di dalam konsep perkawinan dan perempuan tidak dapat menikahkan dirinya sendiri, kecuali janda. Meskipun demikian, perlu dipahami, bahwa Islam tentu saja tidak dapat melakukan pembaruan konsep perkawinan secara radikal, melainkan secara bertahap seiring dengan perkembangan kultur yang berlaku pada suatu masa. Karena jika tidak demikian, tentu saja pembaruan Islam akan sulit untuk dapat diterima masyarakat Arabia pada saat itu.
Dalam kondisi ketika kaum perempuan belum memiliki hak-hak yang sama dengan kaum laki-laki, perempuan pada saat itu banyak mengalami pembatasan, termasuk untuk memperoleh pendidikan maupun berperan di wilayah publik. Situasi yang demikian ini tentu saja mengakibatkan sebagian besar perempuan pada saat itu kurang berpengalaman dan berpendidikan, sehingga kurang cakap apabila melakukan tindakan hukum sendiri. Dalam konteks inilah, perempuan masih membutuhkan perwalian dalam perkawinan, untuk memberikan perlindungan kepada perempuan agar tidak menjadi korban penipuan.
Namun, sangat disayangkan, bahwa peran wali yang berlaku temporal ini kemudian cenderung digeneralisir sebagai berlaku universal bagi semua perempuan oleh ulama fikih yang datang kemudian. Akibatnya, dalam membahas konsep perkawinan, ulama fikih masih cenderung menggunakan analogi akad penjualan, dan menggunakan logika hukum penjualan, dalam mana perempuan masih menjadi objek dan bukan subjek dalam akad perkawinan. Bahkan, melalui hak ijbar, seorang wali dapat memaksa anak perempuannya atau perempuan di bawah perwaliannya ke dalam suatu perkawinan tanpa ijinnya. Oleh karena itu, dalam konteks saat ini, ketika sudah terdapat pengakuan akan kedudukan kaum perempuan yang sama dengan kaum laki-laki di masyarakat, selain juga kaum perempuan sudah tidak mendapatkan pembatasan untuk mendapatkan pendidikan maupun berperan di wilayah publik, maka adalah bertentangan dengan jaman (anachronic) dan kultur saat ini untuk tetap menempatkan perempuan sebagai pihak yang tidak cakap hukum di dalam melakukan akad perkawinan. Spirit al-Qur’an untuk mentransfer perempuan dari posisi sebagai objek dalam perkawinan menjadi seorang pelaku akad perkawinan perlu diangkat kembali, setelah sebelumnya tertimbun oleh tumpukan masa dan kultur yang cenderung patriarkis, kemudian diimplementasikan dalam tatanan kehidupan masyarakat saat ini.
Dari pembahasan sebelumnya dapat dilihat bahwa sebenarnya peran wali dalam perkawinan telah mengalami pergeseran di sepanjang sejarah. Dari sebagai penjual perempuan dalam perkawinan pada masa Arabia pra-Islam, kemudian menjadi pelindung perempuan ketika tidak cakap untuk menikah sendiri pada masa awal Islam. Namun, sangat disayangkan, bahwa peran wali sebagai pelindung yang kondisional ini kemudian cenderung digeneralisir sebagai berlaku universal bagi semua perempuan oleh ulama fikih yang datang kemudian. Oleh karena itu, dalam konteks saat ini, konsep perwalian dalam perkawinan bagi perempuan perlu diperbarui, sehingga dapat memberikan kesempatan bagi perempuan dewasa untuk melakukan akad perkawinan sendiri. Dengan demikian, status perempuan yang selama ini sebagai objek dalam akad perkawinan, karena senantiasa di bawah perwalian, dapat diperbaiki menjadi subjek dalam akad perkawinan, seperti halnya kaum laki-laki.
D. Analisis terhadap masing-masing pendapat ulama
Pendapat imam Abu Hanifah
Kekurangan : jika nikah tidak diharuskan dengan adanya wali, maka akan banyak orang-orang yang menikah seenaknya tanpa izin wali yang bersangkutan.
Kelebihan : pendapat Imam Abu Hanifah tentang wanita boleh menikahkan dirinya sendiri mengangkat derajat wanita kepada derajat yang lebih terhormat, dimana wanita pada pergeseran zaman dan keadaan mengalami perkembangan sehingga wanita berada pada posisi yang sama dengan laki-laki.
Pendapat Jumhur ulama (Imam Syafi’i, Hanbali dan Maliki)
Kekurangan : adanya diskriminasi terhadap perempuan dimana ia tidak boleh melakukan transaksi untuk dirinya, serta menganggap wanita berada pada derajat yang lebih rendah dari pada kaum pria.
Kelebihan : adanya rasa aman yang timbul sebab adanya izin dari wali, sebab pernikahan merupakan sebuah pilihan hidup yang akan dijalani seseorang, maka wanita dengan pilihan hidupnya harus berdasarkan pengetahuan wali.

nikah bawah umur, nikah massal dan kawin gantung

NIKAH DIBAWAH UMUR
Akhir-akhir ini usia kawin (usia yang diizinkan untuk melangsungkan perkawinan) menjadi pembicaraan para ahli dalam dunia kedokteran karena perkawinan di usia muda disinyalir berdampak pada meningkatnya angka kelahiran dan resiko lainnya yaitu meningkatnya angka kematian bayi dan ibu yang melahirkan.
Untuk itu pengetahuan tentang penentuan batas umur untuk melangsungkan perkawinan sangatlah penting sekali. Batasan usia yang dimaksud disini adalah usiaminimal bagi calon suami dan calon istri yang layak untuk kawin. Ajaran islam tidak pernah memberikan batasan yang definitiv pada usia berapa seseorang dianggap dewasa.
Hukum islam telah menentukan tingkat kedewasaan dengan suatu indikasi adanya kematangan jiwa yang diisyaratkan dengan ihtilam bagi laki-laki atau haid bagi wanita. Kapan seseorang ihtilam atau haid secara eksplisit tidak disebutkan dengan angka-angka batas usia.
Menurut para ulama, menentukan batas usia menikah menurut islam bisa dikembalikan kepada beberapa landasan, yaitu:
Usia menikah yang dihubungkan dengan usia dewasa (baligh).
Usia yang dibolehkan kawin didasarkan pada penentuan batas baligh (mukallaf), landasannya kepada hadis nabi yang berbunyi:
عن ابن مسعود قال: قال رسول الله صلي الله عليه وسلم: يَا مَعْشَرَ الشَبّابِ مَنِ اسْتَطا عَ مِنْكمُ البَاءَة فَليَتزوَّجْ: فَإنّهُ أغَضّ لِلبَصَرِ وَ أحْصَنُ لِلفَرْجِ وَمَنْ لمْ يَسْتطِعْ فَعَليْهِ بالصَّوْمِ فإنَّهُ لهُ وِجَاءٌ (متفق عليه)
“ Dari Ibnu Mas”ud seraya berkata, Rasulullah saw bersabda: Hai golongan pemuda! Bila diantara kamu ada yang sudah mampu kawin hendaklah ia kawin, karena nanti matanya akan lebih terjaga dan kemaluannya akan lebih terpelihara. Dan bilamana ia belum mampu kawin, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu ibarat pengebiri”. (Muttafaq ‘alaih)
Dalam hadis ini dijelaskan bahwa orang yang dinyatakan mukallaf adalah anak kecil yang sudah bermimpi senggama (ihtilam). Arti الباءة menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya fiqhus sunnah menyatakan الباءة adalah jima’. Barang siapa yang sanggup diantara kalian untuk berjima’ dikarenakan mampunya dia atas biaya pernikahan dan barang siapa yang tidak mampu untuk berjima’ karena lemahnya ia dalam biaya pernikahan maka hendaknya ia berpuasa untuk mengekang syahwatnya dan memutuskan kejahatan air maninya sebagaimana ia terhalang oleh sebuah benteng.
Usia menikah yang didasarkan terhadap keumuman arti ayat Al-Qur’an yang menyebutkan batas kemampuan untuk menikah.
Selanjutnya, dalam al Qur’an disebutkan tentang cukup umur untuk kawin, dengan kata rusyd (cerdas), firman Allah yang artinya:
“dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya…” (Q.S. An Nisa/4:6)
Menurut ulama Ushul Fiqh, kalimat “cuckup umur” pada ayat diatas menunjukan seseorang telah bermimpi dengan ,mengeluarkan mani untuk pria dan haid untuk wanita. Orang yang seperti init telah dianggap cakap intuk melakukan tindakan hukum sehingga seluruh perintah dan larangan syara’ dapat ia pikirkan dengan sebaik-baiknya dan dapat ia laksanakan dengan benar.
Nikah di bawah umur menurut hukum positif
Dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan pada bab 2 padal 7 disebutkan bahwasanya perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Di sini jelas bahwa batas umur terendah untuk menikah menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Tetapi dalam umur ini mereka sebenarnya masih belum dapat berdiri sendiri dan hendak menikah harus seizing orang tua. Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan bab II pada pasal 6 menegaskan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua.
Kalau kita perhatikan, maka dalam pasal ini terdapat dua petunjuk, yaitu:
Bahwa umur 19 tahun bagi pria (usia SLTA) dan 16 tahun bagi wanita (usia SLTP) adalah usia muda untuk menikah. Walaupun sudah diperbolehkan tetapi peranan orang tua sangat di perlukan untuk membimbing, menolong dan member izin dengan segala tanggung jawabnya.
Bahwa izin orang tua sangat menentukan. Tanpa izin orang tua, perkawinan tak dapat dilangsungkan. Hal ini merupakan petunjuk bagi anak-anak bahwa mereka wajib menghormati orang tua, mendengar nasihat dan pendapat keduanya walaupun batas umur sudah boleh menikah.
Dari sisi lain, perkawinan juga mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan . terbuktilah batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk menikah mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi.
Karena itu sangat beralasan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 7 menetukan batas umur tentang nikah baik bagi pria maupun wanita ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
Sebab Terjadinya Pernikahan Di Bawah Umur
Pada umumnya, yang menjadi penyebab terjadinya pernikahan di bawah umur adalah karena terjadinya faktor budaya dan pendidikan. Walaupun ada sebab lain yang mempengaruhinya, tetapi hal itu merupakan rangkaian yang sifatnya sebagai pelengkap.
Dari beberapa hal yang melatar belakangi tingginya pernikahan pada usia muda faktor paling dominan adalah karena rendahnya tingkat pendidikan. Bahkan pendidikanlah yang menjadi inti masalah ini. Karena dengan pendidikan dapat merubah pola fikir dan pandangan dari yang tidak baik menjadi lebih baik, dari yang tidak rasional menjadi rasional dan realistis. Tetapi ini merupakan sebuah harapan ideal tanpa melihat kendala yang dihadapi.
Selain faktor-faktor tadi yang sifatnya internal, juga ada sebab lain sebagai pendorong yang setidaknya memberikan peluang dan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada para pemuda untuk menikah pada usia muda adalah Undang-undang perkawinan.karena walaupun ada batasan tentang usia minimal 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita, tetapi ada kebolehan bagi yang belum mencapai usia tersebut. Kebolehan ini secara prosedural sangat mudah didapat dan tidak ada sedikitpun kesulitan dalam kepengurusannya. Tidak ada satu pun pemikiran bagi masyarakat bahwa batasan usia pada perkawinan semestinya memiliki ketentuan yang harus ditaati, sebab pada aplikasinya merupakan sebuah ketentuan tanpa memiliki kewenangan.
Sebenarnya pernikahan dibawah umur di zaman kemajuan teknologi ini merupakan setback (mundur) kezaman lampau diwaktu pendidikan masih belum demikian berkembang dan anak-anak gadis masih dalam pingitan. Di masa lampau pernikahan dibawah umur umumnya disebabkan oleh:
Keinginan orang tua yang ingin cepat-cepat mengambil menantu.
Karena ada lamaran dari orang-orang yang disegani dan orang tua khawatir tidak dapat lagi calon seperti itu.
Kerena unsur materi yang ingin anaknya berbahagia jika sudah menikah (besanan dengan orang kaya, mengharapkan anaknya dapat tertolong).
Dari yang bersangkutan sendiri ingin cepat menikah karena ingin cepat bebas dan mengira hidup berumah tangga lebih nikmat.
Karena malu oleh teman sebaya yang sudah menikah atau orang tua khawatir anaknya menjadi perawan tua atau bujang tak laku, mereka didesak oleh adat istiadat.
Dampak Pernikahan Di Bawah Umur
Pernikahan usia muda mempunyai pengaruh besar terhadap tingginya angka kematian ibu, bayi dan umur harapan hidup, yaitu kesakitan dan kematian ibu di usia muda serta kesakitan dan kematian anak-anaknya relativ lebih tinggi dari usia ibu lainnya, bahkan pengaruh terhadap pendidikan anak dan kemampuan pembentukan keluarga yang sejahtera. Penelitian dan pengalaman di berbagai Negara, baik Negara maju maupun berkembang termasuk Indonesia, menunkjukan bahwa pernikahan di usia muda mempunyai dampak yang tidak menguntungkan, tidak hanya membawa resiko yang sangat besar terhadap kesehatan dan kesejahteraan ibu-ibu yang mengandung dan melahirkan pada usia muda, tetapi juga terhadap anak hasil pernikahan muda itu.
Menurut Abd. Rahim Umran, nikah dibawah umur dilihat dari beberapa aspek mempunyai beberapa dampak sebagai berikut:
Biologis, secra biologis hubungan suami isteri yang terlalu muda (yang belum dewasa secara fisik) dapat mengakibatkan penderitaan bagi seorang isteri dalam hubungan biologis. Lebih-lebih ketika hamil dan melahirkan.
Sosio-Kultural, secara Sosio-kultural pasangan suami isteri harus memenuhi tuntutan sosial, yakni mengurus rumah tangga dan mengurus anak-anak.
Demografis (kependudukan), secara deografis pernikahan dibawah umur merupakan salah satu faktor lajunya pertumbuhan penduduk yang lebih tinggi.
Selain itu dari segi demografis bila disuatu daerah banyak pernikahan di usia muda, sering ditafsirkan daerah tersebut juga mempunyai tingkat kelahiran yang tinggi. Dengan kata lain pernikahan di usia muda identik dengan tingginya tingkat kelahiran karena masa reproduksi akan lebih lama (15-49 tahun) (T. Suhaemi Harun, 1992:10).
KAWIN GANTUNG
Pengertian Kawin Gantung
Dalam kamus Bahasa Indonesia pengertian kawin gantung adalah pernikahan yang sudah sah tetapi belum diresmikan dengan perayaan atau suami isteri belum serumah.
Menurut Soepomo, pengertian kawin gantung adalah perkawinan antara dua anak yang belum dewasa dan masih tinggal bersama orang tuanya dengan menunda saat hidup bersama. Pada kawin gantung pencatatan pernikahan sudah dilangsungkan, tetapi suami isteri masih tetpa berada di bawah kuasa orang tua masing-masing. Mereka belum hidup bersama layaknya suami isteri, tetapi menunggu sampai anak perempuannya aqil baligh, dan sampai orang tua kedua belah pihak sudah sanggup merayakan pesta perkawinan.
Pelangsungan perniakahannya sangat sederhana, karena si anak ketika dinikahkan belum tahu apa-apa tentang nikah, jadi tidak ada petugas dari Kantor Urusan Agama, yang hadir hanya orang tua dari kedua belah pihak beserta keluarga dekat yang menjadi sebagai saksi, yang ditutup dengan selamatan dengan alakadarnya, tidak ada upacara yang lainya. Setelah dinikahkan seperti itu mereka masing-masing masih tetap sepeti sediakala. Keberadaan mereka berdua tidak tampak sama sekali tanda-tanda sudah dinikahkan, baik campurnya dengan mereka maupun dengan orang lain atau dengan teman-temannya.
Jadi, kawin gantung adalah perkawinan yang dilakukan oleh calon suami dan isteri yang masih kecil dan masa pencampurannya masih ditangguhkan dan juga belum hidup bersama.
Kawin Gantung Dalam Perspektif Hukum Islam
Kawin gantung merupakan istilah adat, yang mempunyai makna yaitu perkawinan antara laki-laki dewasa dengan wanita yang masih kecil atau kedua mempelai masih kecil dan masa pencampurannya ditangguhkan dan juga belum hidup bersama. Menurut hukum islam, tradisi adat istiadat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syara’ dan mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia dibolehkan.
Para fuqaha ada yang membolehkan perkawinan anak-anak, seorang ayah boleh memaksa kawin terhadap anak lelakinya atau anak perempuannya yang belum dewasa, tanpa dimintai pendapatnya. Hal ini didasarkan pada, hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang menjelaskan perkawinan antara ‘Aisyah dengan nabi Muhammad.
Selain itu ada juga ulama yang tidak setuju dengan perkawinan anak kecil, karena hal ini tidak sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 5yang artinya:
“dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya[268], harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”
Dari ayat di atas diketahui bahwa pernikahan tidak boleh diberikan kepada orang yang belum sempurna akalnya, sebab mereka belum dapat mengatur kehidupan maupun hartanya secara baik dan mandiri. Sehingga dikhawatirkan pernikahan muda akan sangat merepotkan dirinya. Dengan alas an inilah para ulama yang tidak setuju dengan pernikahan pada usia muda, karena akan mendatangkan mudharat bagi kehidupan keluarganya kelak.
Sebab terjadinya kawin gantung
Karena satu tujuan, acap kali dua pihak orang tua dari kedua anak kecil yang berlainan jenis (laki-laki dan perempuan) ingin berbesanan (mengawinkan) kedua anaknya yang sama sekali belum dewasa, dan tak tahu sama sekali mengenai perkawinan.
Dilakukan kawin gantung, kemungkinan yang jelas kedua orang tua sama-sama mempunyai kehendak agar anak-anaknya menjadi suami istri. Untuk menentramkan perasaan atas niat itu, dan juga mengukuhkan maksudnya itu, maka ditempuhlah jalan mengawinkan anak-anaknya itu secara simbolik selagi masih kanak-kanak. Selanjutnya dibina secara halus, agar nantinya dapat betul-betul menjadi suami istri yang ideal.
Latar belakang perkawinan anak-anak, antara lain adalah dikarenakan sebagai berikut:
Adanya pesan dari orang tua yang telah meninggal dunia, misalnya dikarenakan diantara orang tua kedua belah pihak mengadakan perjanjian untuk berbesanan agar tali persaudaraan makin kuat.
Untuk mencegah terjadinya pernikahan dengan orang lain yang tidak disetujui orang tua/kerabat yang bersangkutan.
Ada orang tua yang lebih mengutamakan kepentingan sendiri ketimbang kesejahteraan anak-anak. Terkadang ayah yang memaksa anaknya menikah muda mengharapkan kemanfaatan materi yang mereka senangi, tanpa memperhitungkan persetujuan dari calon pengantin yang akan menikah.
NIKAH MASSAL
Pengertian Nikah Massal
Nikah massal adalah nikah yang dilakukan oleh banyak calon pasangan nikah dengan akadnya dilakukan oleh masing-masing kedua calon mempelai secara bergantian, dengan tujuan untuk mendapatkan buku akte nikah yang bisa digunakan mulai masa dari awal tercatat nikah sampai seterusnya.
Pernikahan massal juga dilihat dari segi pelaksanaannya tidak ada bedanya seperti pernikahan biasa, karena dalam bentuk syarat dan rukunnya tidak ada yang berbeda hanya dalam pelaksanaanya dilaksanakan secara kolektif untuk berkumpul bersama di hari yang sama dalam suatu tempat dengan melakukan akad secara bergantian dengan masing-masing pasangan.
Nikah massal yang kebanyakan adalah orang yang sudah menikah di bawah tangan yaitu pasangan yang dinikahkan secara agama Islam dibawah bimbingan para tokoh agama dalam melaksanakan nikah tersebut tanpa mendaftarkan kepada KUA setempat.

Dasar Hukum Nikah Massal
Belum ada aturan maupun perundang-undangan yang mengatur tentang nikah massal. Maka pelaksanaan nikah massal bisa disandarkan pada asas Mashlahah Mursalah, demi terciptanya kemashlahatan dalam suatu perkawinan dalam mendapatkan legalitas hukum dan hubungan pernikahannya tetap terjaga yakni dengan memiliki buku akte nikah. Hal ini berkaitan dengan adanya suatu kodifikasi perkawinan atau pencatatan nikah secara administrasi Negara yang telah diatur oleh undang-undang yang berlaku.
Status hukum pada pernikahan masal untuk pasangan yang sudah nikah secara syariah islam adalah tajdid nikah, karena pernikahan mereka menurut hukum positif tidak berlaku, kemudian diakuinya pernikahan mereka pada saat tercatat pada hari pernikahan yang kedua yaitu di saat nikah massal.
Nikah massal dilaksanakan berdasarkan beberapa hal diantaranya:
Legalitas Hukum
Nikah massal dilaksanakan untuk memberi legalitas hukum bagi pesertanya terutama bagi yang sudah menikah secara hukum syari’at islam namun belum dicatat di Kantor Urusan Agama.
Biaya
Biasanya pelaksanaan nikah masal tidak dipungut biaya atau gratis sehingga cukup menyerap para warga yang berkeinginan untuk menikah namun tidak punya biaya untuk merayakan perkawinan, dan ini merupakan program pemerintah sebagai wujud perhatian pemerintah daerah terhadap masyarakat di wilayahnya dan bertujuan membantu mereka yang kurang mampu untuk merayakan pernikahan.
Prosedur sulit
Pernikahan massal juga dilaksanakan untuk membantu pasangan yang merasa kesusahan dengan prosedur pencatatan yang dirasa berbelit-belit. Pengurusan prosedur pencatatan nikah di Kantor Urusan Agama harus melalui tahap-tahap yang terkadang merepotkan orang-orang yang ingin mencatatkan perkawinannya.