Minggu, 15 November 2009

KEDUDUKAN WALI DALAM PERKAWINAN

KEDUDUKAN WALI DALAM PERKAWINAN

A. Pengertian Wali
Menurut bahasa, wali adalah orang yang menurut hukum dapat diserahi kewajiban untuk mengurus, mengasuh, memelihara, mengawasi dan menguasai suatu persoalan. Perwalian disebut juga wilayah yang berarti penguasaan dan perlindungan.
Sedangkan menurut istilah, wali adalah pertanggung jawaban tindakan, pengawasan oleh orang dewasa yang cakap terhadap orang yang ada di bawah umur dalam hal pengurusan diri pribadi seseorang dan harta kekayaan.
Sebagian ulama, terutama dari kalangan Hanafiah, membedakan perwalian ke dalam tiga kelompok, yaitu perwalian terhadap jiwa (al-walayah ‘alan nafs), perwalian terhadap harta (al-walayah ‘alal mal), serta perwalian terhadap jiwa dan harta sekaligus (al-walayah ‘alan nafsi wal mali ma’an).
Perwalian dalam nikah tergolong ke dalam al-walayah ‘alan nafs, yaitu perwalian yang bertalian dengan pengawasan terhadap urusan yang berhubungan dengan masalah-masalah keluarga seperti perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan anak, kesehatan, dan aktivitas anak (keluarga) yang hak kepengawasannya pada dasarnya berada di tangan ayah, atau kakek, dan para wali yang lain.
Perwalian yang berkenaan dengan manusia dalam hal ini masalah perkawinan disebut wali nikah. Wali nikah adalah orang yang berkuasa mengurus, memelihara yang ada di bawah perwaliannya atau perlindungan-nya.
Maksudnya seseorang yang secara hukum mempunyai otoritas terhadap seseorang
lantaran memang mempunyai kompetensi untuk menjadi pelindung serta mampu berbuat itu. Sedang seseorang membutuhkan wali, untuk melindungi kepentingan serta haknya lantaran ia merasa tidak mampu berbuat tanpa tergantung pada pengaruh orang lain.
Siapa yang membutuhkan perwalian ini dalam sebuah perkawinan, tampaknya juga masih belum disepakati secara bulat oleh para ulama ahli hukum. Memang ada beberapa perbedaan antara mazhab satu dengan lainnya. Tapi secara umum, seseorang itu membutuhkan wali lantaran: belum dewasa, kurang ingatan, kurang berpengalaman untuk memikul tanggung jawab.
Dengan demikian wali memiliki tanggung jawab yang besar, karena telah dikukuhkan oleh hukum (agama) dan apabila dilihat berdasarkan kedudukannya, wali tidak begitu saja melimpahkan wewenangnya kepada orang lain yang tidak berhak, karena untuk menjadi wali harus ada kaitannya dengan struktur keluarga (hubungan nasab). Disamping itu wali juga sebagai rukun dan syarat dalam
melangsungkan perkawinan.

B. Pandapat Ulama
1. Pendapat Imam Abu Hanifah
Di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat di dalam harus atau tidak adanya wali dalam nikah, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa sah nikah wanita dewasa yang berakal tanpa adanya wali, wanita dewasa dapat menjadi wali dalam nikahnya juga nikah wanita lain, dengan syarat calon suaminya sekufu, dan maharnya tidak kurang dari mahar yang berlaku pada masyarkat sekitar. Apabila wanita itu menikah dengan orang yang tidak seskufu dengannya maka walinya boleh membatalkan nikah.
2. Pendapat Jumhur (Imam Syafi,i, Maliki dan Hanbali)
Pendapat jumhur ulama (Imam Syafi’i, Maliki dan Hanbali) berpendapat bahwa nikah tidak sah tanpa adanya wali.
Sebagian besar ulama fikih berpendapat bahwa seorang perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri atau orang lain. Jika dia menikah tanpa wali, maka pernikahannya batal atau tidak sah. Dan ini merupakan pendapat banyak sahabat seperti Ibnu Umar, Ali Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan Aisyah r.a. Dan begitu juga menurut Said bin Musayyab, Umar bin Abdul Aziz, Jabir bin Zaid, Tsauri, Ibnu Abi Layla, Ibnu Syibrimah, ibnu Mubarok, Ubaidullah bin Anbari, Ishaq dan Abu Ubaidah.



C. Argumentasi dan kerangka berfikir para ulama
Adapun argumentasi yang dikemukakan oleh Jumhur ulama fikih tersebut, menurut Sayyid Sabiq,adalah:
1. Hadis Nabi riwayat Abu Musa yang berbunyi “La nikaha illa bi Waliyyin”
dan hadis Nabi riwayat ‘Aisyah yang berbunyi ”Ayyuma imraatin nakahat bighairi izdni waliyyiha fanikahuha batil...”. Berbeda dengan Abu Hanifah, asy-Syafi’i berpendapat bahwa hadis ahad yang dijamin keasliannya (sahih) boleh diterima dan harus didahulukan daripada analisis akal pikiran.
2. Perkawinan itu mempunyai beberapa tujuan untuk membentuk kehidupan rumah tangga yang sakinah, dan di dalam kehidupan biasanya laki-laki lebih mampu untuk menjaga tujuan ini, adapun wanita kemampuannya biasanya terbatas oleh faktor-faktor psikologis,lingkungan dan lainnya, maka sebaiknya pelaksanaan akad nikah diserahkan kepada walinya. Oleh sebab itu ia tidak boleh melakukan akad nikah secara langsung. Akad nikah harus dilakukan oleh walinya supaya tujuan perkawinan dapat tercapai secara sempurna.
3. Asy-Syafi’i hidup di Baghdad dan Mesir yang mana di kedua daerah tersebut, para wanita dinikahkan ketika menginjak baligh atau sesudah mengalami menstruasi yaitu pada kisaran 10-15 tahun. Tentu saja seorang gadis pada masa seperti itu belumlah bisa memutuskan sesuatu yang sepenting nikah oleh cara pikirannya sendiri. Bahkan di abad modern, perempuan pada usia 10-15 tahun masihlah dianggap anak-anak dan belum dewasa.
Berbeda dengan pendapat mayoritas ulama fikih tersebut, Imam Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf berpendapat bahwa perempuan dewasa yang berakal sehat memiliki hak melaksanakan akad nikah langsung tanpa wali, baik gadis maupun janda, baik menikah dengan laki-laki yang sekufu atau tidak.
Adapun argumentasi yang diajukan oleh Abu Hanifah dan Abu Yusuf adalah:
1. Nash Quran surat al Baqarah ayat 232yang artinya :
Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya…(al-Baqarah: 232)
2. Asy-Syafi’i menggunakan hadis ahad yang menyatakan tidak sah suatu pernikahan kecuali atas izin walinya.”La nikaha illa bi wali.” Sedangkan Abu Hanifah, tidak mau menerima hadis ini karena dinilai tidak memenuhi syarat untuk dijadikan hujjah atau dalil. Sebabnya, menurut Abu Hanifah, sebuah hadis yang bisa diterima haruslah mencapai tingkatan mutawatir, yaitu hadis Nabi yang tidak mungkin terjadinya penipuan atau kebohongan atas hadis yang dibawa.

3. Perempuan bebas melakukan akad jual-beli dan akad-akad lainnya, karena itu ia bebas melakukan akad nikahnya. Karena tidak ada perbedaan hokum antara akad nikah dengan akad-akad lainnya.
4. Hadis-hadis yang mengaitkan sahnya perkawinan dengan ijin wali bersifat khusus, yaitu ketika sang perempuan yang akan menikahkan dirinya itutidak memenuhi syarat untuk bertindak sendiri, misalnya karena masih belum dewasa atau tidak memiliki akal sehat.
5. Berbeda dengan asy-Syafi’i, Abu Hanifah hidup di Kota Kufah, di masa banyak pemalsuan hadis yang terjadi di tengah Kufah yang sudah menjadi kota kosmopolitan. Perempuan Kufah pada masa itu sudah terbiasa melakukan nikah pada kisaran 18-22 tahun, sebuah takaran umur yang lebih dewasa dari pada takaran usia nikah di Baghdad. Pada umur segitu, para wanita tentu sudah bisa mandiri dalam mengambil keputusan sehingga ia bisa menentukan jalan hidupnya sendiri. Maka dari itu Abu Hanifah berpendapat bahwa perempuan muslim berhak untuk menikahkah dirinya sendiri walau walinya tidak setuju atau tidak mengetahuinya.
Meskipun terdapat pendapat yang membolehkan perempuan dewasa dan memiliki akal sehat untuk melakukan pernikahan sendiri, namun pendapat ini bukanlah pendapat yang diterima dan berlaku secara umum di dunia muslim. Di Indonesia, misalnya, dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa wali merupakan salah satu rukun perkawinan, dan tanpa wali perkawinan tidak sah.
Pada era modern ini terdapat pemikiran tentang masalah perwalian dalam perkawinan dari seorang ilmuan yang bernama Mohammed Arkoun, Untuk mengkaji ulang masalah perwalian dalam perkawinan dengan kaca mata Arkoun, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengkaji praktek sejarah yang pernah terjadi pada masa tersebut, demi melakukan pembongkaran (dekonstruksi) terhadap konsep perwalian dalam perkawinan yang berlaku selama ini, yaitu untuk mengetahui kebiasaan yang dominan pada saat itu, yang mempengaruhi pembentukan pemikiran hukum Islam tentang wali bagi perempuan dalam perkawinan.
Dari perkawinan di Arabia pra-Islam hingga awal Islam terdapat pergeseran peran wali di dalam perkawinan seiring dengan perubahan status perempuan dalam perkawinan yang sedang diperjuangkan oleh Islam pada saat itu.
Pada masa arab pra Islam terdapat perkawinan ba’al yang menggunakan pembayaran mahar oleh peminang kepada wali perempuan yang sebenarnya mengikuti logika jual-beli. Dalam hal ini, wali perempuan sebagai penjual, sang peminang sebagai pembeli, dan sang perempuan sebagai barang yang dijual. Hal ini sangat mungkin dipengaruhi oleh kondisi kehidupan perdagangan yang cukup pesat di Mekkah pada saat itu.
Konsep perkawinan yang mengikuti logika jual-beli tersebut, kemudian diperbarui oleh Islam dengan memperbaiki makna mahar yang sebelumnya dianggap sebagai harga pembelian bagi seorang perempuan yang dinikahi, menjadi pemberian yang tidak disertai dengan harapan menerima imbalan apa pun, sebagai bukti rasa cinta dan ikatan kekerabatan serta kasih sayang dan mengatur pemberian mahar kepada perempuan. Tujuan al-Qur’an dalam hal yang terakhir ini adalah untuk mentransfer istri dari posisi sebagai objek penjualan menjadi seorang pelaku kontrak yang sebagai ganti karena dia telah memberikan hak untuk berhubungan seksual dengan dirinya, berhak mendapatkan mahar.
Akan tetapi, spirit al-Qur’an tersebut tampaknya masih sulit untuk ditangkap dengan baik oleh kebiasaan yang berlaku pada saat itu. Akibatnya, konsep perkawinan pada masa awal Islam masih menyesuaikan dengan kultur patriarkal dan norma-norma androsentris yang mendominasi pada saat itu. Dalam pengertian bahwa wali yang menikahkan perempuan tetap ada di dalam konsep perkawinan dan perempuan tidak dapat menikahkan dirinya sendiri, kecuali janda. Meskipun demikian, perlu dipahami, bahwa Islam tentu saja tidak dapat melakukan pembaruan konsep perkawinan secara radikal, melainkan secara bertahap seiring dengan perkembangan kultur yang berlaku pada suatu masa. Karena jika tidak demikian, tentu saja pembaruan Islam akan sulit untuk dapat diterima masyarakat Arabia pada saat itu.
Dalam kondisi ketika kaum perempuan belum memiliki hak-hak yang sama dengan kaum laki-laki, perempuan pada saat itu banyak mengalami pembatasan, termasuk untuk memperoleh pendidikan maupun berperan di wilayah publik. Situasi yang demikian ini tentu saja mengakibatkan sebagian besar perempuan pada saat itu kurang berpengalaman dan berpendidikan, sehingga kurang cakap apabila melakukan tindakan hukum sendiri. Dalam konteks inilah, perempuan masih membutuhkan perwalian dalam perkawinan, untuk memberikan perlindungan kepada perempuan agar tidak menjadi korban penipuan.
Namun, sangat disayangkan, bahwa peran wali yang berlaku temporal ini kemudian cenderung digeneralisir sebagai berlaku universal bagi semua perempuan oleh ulama fikih yang datang kemudian. Akibatnya, dalam membahas konsep perkawinan, ulama fikih masih cenderung menggunakan analogi akad penjualan, dan menggunakan logika hukum penjualan, dalam mana perempuan masih menjadi objek dan bukan subjek dalam akad perkawinan. Bahkan, melalui hak ijbar, seorang wali dapat memaksa anak perempuannya atau perempuan di bawah perwaliannya ke dalam suatu perkawinan tanpa ijinnya. Oleh karena itu, dalam konteks saat ini, ketika sudah terdapat pengakuan akan kedudukan kaum perempuan yang sama dengan kaum laki-laki di masyarakat, selain juga kaum perempuan sudah tidak mendapatkan pembatasan untuk mendapatkan pendidikan maupun berperan di wilayah publik, maka adalah bertentangan dengan jaman (anachronic) dan kultur saat ini untuk tetap menempatkan perempuan sebagai pihak yang tidak cakap hukum di dalam melakukan akad perkawinan. Spirit al-Qur’an untuk mentransfer perempuan dari posisi sebagai objek dalam perkawinan menjadi seorang pelaku akad perkawinan perlu diangkat kembali, setelah sebelumnya tertimbun oleh tumpukan masa dan kultur yang cenderung patriarkis, kemudian diimplementasikan dalam tatanan kehidupan masyarakat saat ini.
Dari pembahasan sebelumnya dapat dilihat bahwa sebenarnya peran wali dalam perkawinan telah mengalami pergeseran di sepanjang sejarah. Dari sebagai penjual perempuan dalam perkawinan pada masa Arabia pra-Islam, kemudian menjadi pelindung perempuan ketika tidak cakap untuk menikah sendiri pada masa awal Islam. Namun, sangat disayangkan, bahwa peran wali sebagai pelindung yang kondisional ini kemudian cenderung digeneralisir sebagai berlaku universal bagi semua perempuan oleh ulama fikih yang datang kemudian. Oleh karena itu, dalam konteks saat ini, konsep perwalian dalam perkawinan bagi perempuan perlu diperbarui, sehingga dapat memberikan kesempatan bagi perempuan dewasa untuk melakukan akad perkawinan sendiri. Dengan demikian, status perempuan yang selama ini sebagai objek dalam akad perkawinan, karena senantiasa di bawah perwalian, dapat diperbaiki menjadi subjek dalam akad perkawinan, seperti halnya kaum laki-laki.
D. Analisis terhadap masing-masing pendapat ulama
Pendapat imam Abu Hanifah
Kekurangan : jika nikah tidak diharuskan dengan adanya wali, maka akan banyak orang-orang yang menikah seenaknya tanpa izin wali yang bersangkutan.
Kelebihan : pendapat Imam Abu Hanifah tentang wanita boleh menikahkan dirinya sendiri mengangkat derajat wanita kepada derajat yang lebih terhormat, dimana wanita pada pergeseran zaman dan keadaan mengalami perkembangan sehingga wanita berada pada posisi yang sama dengan laki-laki.
Pendapat Jumhur ulama (Imam Syafi’i, Hanbali dan Maliki)
Kekurangan : adanya diskriminasi terhadap perempuan dimana ia tidak boleh melakukan transaksi untuk dirinya, serta menganggap wanita berada pada derajat yang lebih rendah dari pada kaum pria.
Kelebihan : adanya rasa aman yang timbul sebab adanya izin dari wali, sebab pernikahan merupakan sebuah pilihan hidup yang akan dijalani seseorang, maka wanita dengan pilihan hidupnya harus berdasarkan pengetahuan wali.

nikah bawah umur, nikah massal dan kawin gantung

NIKAH DIBAWAH UMUR
Akhir-akhir ini usia kawin (usia yang diizinkan untuk melangsungkan perkawinan) menjadi pembicaraan para ahli dalam dunia kedokteran karena perkawinan di usia muda disinyalir berdampak pada meningkatnya angka kelahiran dan resiko lainnya yaitu meningkatnya angka kematian bayi dan ibu yang melahirkan.
Untuk itu pengetahuan tentang penentuan batas umur untuk melangsungkan perkawinan sangatlah penting sekali. Batasan usia yang dimaksud disini adalah usiaminimal bagi calon suami dan calon istri yang layak untuk kawin. Ajaran islam tidak pernah memberikan batasan yang definitiv pada usia berapa seseorang dianggap dewasa.
Hukum islam telah menentukan tingkat kedewasaan dengan suatu indikasi adanya kematangan jiwa yang diisyaratkan dengan ihtilam bagi laki-laki atau haid bagi wanita. Kapan seseorang ihtilam atau haid secara eksplisit tidak disebutkan dengan angka-angka batas usia.
Menurut para ulama, menentukan batas usia menikah menurut islam bisa dikembalikan kepada beberapa landasan, yaitu:
Usia menikah yang dihubungkan dengan usia dewasa (baligh).
Usia yang dibolehkan kawin didasarkan pada penentuan batas baligh (mukallaf), landasannya kepada hadis nabi yang berbunyi:
عن ابن مسعود قال: قال رسول الله صلي الله عليه وسلم: يَا مَعْشَرَ الشَبّابِ مَنِ اسْتَطا عَ مِنْكمُ البَاءَة فَليَتزوَّجْ: فَإنّهُ أغَضّ لِلبَصَرِ وَ أحْصَنُ لِلفَرْجِ وَمَنْ لمْ يَسْتطِعْ فَعَليْهِ بالصَّوْمِ فإنَّهُ لهُ وِجَاءٌ (متفق عليه)
“ Dari Ibnu Mas”ud seraya berkata, Rasulullah saw bersabda: Hai golongan pemuda! Bila diantara kamu ada yang sudah mampu kawin hendaklah ia kawin, karena nanti matanya akan lebih terjaga dan kemaluannya akan lebih terpelihara. Dan bilamana ia belum mampu kawin, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu ibarat pengebiri”. (Muttafaq ‘alaih)
Dalam hadis ini dijelaskan bahwa orang yang dinyatakan mukallaf adalah anak kecil yang sudah bermimpi senggama (ihtilam). Arti الباءة menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya fiqhus sunnah menyatakan الباءة adalah jima’. Barang siapa yang sanggup diantara kalian untuk berjima’ dikarenakan mampunya dia atas biaya pernikahan dan barang siapa yang tidak mampu untuk berjima’ karena lemahnya ia dalam biaya pernikahan maka hendaknya ia berpuasa untuk mengekang syahwatnya dan memutuskan kejahatan air maninya sebagaimana ia terhalang oleh sebuah benteng.
Usia menikah yang didasarkan terhadap keumuman arti ayat Al-Qur’an yang menyebutkan batas kemampuan untuk menikah.
Selanjutnya, dalam al Qur’an disebutkan tentang cukup umur untuk kawin, dengan kata rusyd (cerdas), firman Allah yang artinya:
“dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya…” (Q.S. An Nisa/4:6)
Menurut ulama Ushul Fiqh, kalimat “cuckup umur” pada ayat diatas menunjukan seseorang telah bermimpi dengan ,mengeluarkan mani untuk pria dan haid untuk wanita. Orang yang seperti init telah dianggap cakap intuk melakukan tindakan hukum sehingga seluruh perintah dan larangan syara’ dapat ia pikirkan dengan sebaik-baiknya dan dapat ia laksanakan dengan benar.
Nikah di bawah umur menurut hukum positif
Dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan pada bab 2 padal 7 disebutkan bahwasanya perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Di sini jelas bahwa batas umur terendah untuk menikah menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Tetapi dalam umur ini mereka sebenarnya masih belum dapat berdiri sendiri dan hendak menikah harus seizing orang tua. Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan bab II pada pasal 6 menegaskan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua.
Kalau kita perhatikan, maka dalam pasal ini terdapat dua petunjuk, yaitu:
Bahwa umur 19 tahun bagi pria (usia SLTA) dan 16 tahun bagi wanita (usia SLTP) adalah usia muda untuk menikah. Walaupun sudah diperbolehkan tetapi peranan orang tua sangat di perlukan untuk membimbing, menolong dan member izin dengan segala tanggung jawabnya.
Bahwa izin orang tua sangat menentukan. Tanpa izin orang tua, perkawinan tak dapat dilangsungkan. Hal ini merupakan petunjuk bagi anak-anak bahwa mereka wajib menghormati orang tua, mendengar nasihat dan pendapat keduanya walaupun batas umur sudah boleh menikah.
Dari sisi lain, perkawinan juga mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan . terbuktilah batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk menikah mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi.
Karena itu sangat beralasan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 7 menetukan batas umur tentang nikah baik bagi pria maupun wanita ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
Sebab Terjadinya Pernikahan Di Bawah Umur
Pada umumnya, yang menjadi penyebab terjadinya pernikahan di bawah umur adalah karena terjadinya faktor budaya dan pendidikan. Walaupun ada sebab lain yang mempengaruhinya, tetapi hal itu merupakan rangkaian yang sifatnya sebagai pelengkap.
Dari beberapa hal yang melatar belakangi tingginya pernikahan pada usia muda faktor paling dominan adalah karena rendahnya tingkat pendidikan. Bahkan pendidikanlah yang menjadi inti masalah ini. Karena dengan pendidikan dapat merubah pola fikir dan pandangan dari yang tidak baik menjadi lebih baik, dari yang tidak rasional menjadi rasional dan realistis. Tetapi ini merupakan sebuah harapan ideal tanpa melihat kendala yang dihadapi.
Selain faktor-faktor tadi yang sifatnya internal, juga ada sebab lain sebagai pendorong yang setidaknya memberikan peluang dan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada para pemuda untuk menikah pada usia muda adalah Undang-undang perkawinan.karena walaupun ada batasan tentang usia minimal 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita, tetapi ada kebolehan bagi yang belum mencapai usia tersebut. Kebolehan ini secara prosedural sangat mudah didapat dan tidak ada sedikitpun kesulitan dalam kepengurusannya. Tidak ada satu pun pemikiran bagi masyarakat bahwa batasan usia pada perkawinan semestinya memiliki ketentuan yang harus ditaati, sebab pada aplikasinya merupakan sebuah ketentuan tanpa memiliki kewenangan.
Sebenarnya pernikahan dibawah umur di zaman kemajuan teknologi ini merupakan setback (mundur) kezaman lampau diwaktu pendidikan masih belum demikian berkembang dan anak-anak gadis masih dalam pingitan. Di masa lampau pernikahan dibawah umur umumnya disebabkan oleh:
Keinginan orang tua yang ingin cepat-cepat mengambil menantu.
Karena ada lamaran dari orang-orang yang disegani dan orang tua khawatir tidak dapat lagi calon seperti itu.
Kerena unsur materi yang ingin anaknya berbahagia jika sudah menikah (besanan dengan orang kaya, mengharapkan anaknya dapat tertolong).
Dari yang bersangkutan sendiri ingin cepat menikah karena ingin cepat bebas dan mengira hidup berumah tangga lebih nikmat.
Karena malu oleh teman sebaya yang sudah menikah atau orang tua khawatir anaknya menjadi perawan tua atau bujang tak laku, mereka didesak oleh adat istiadat.
Dampak Pernikahan Di Bawah Umur
Pernikahan usia muda mempunyai pengaruh besar terhadap tingginya angka kematian ibu, bayi dan umur harapan hidup, yaitu kesakitan dan kematian ibu di usia muda serta kesakitan dan kematian anak-anaknya relativ lebih tinggi dari usia ibu lainnya, bahkan pengaruh terhadap pendidikan anak dan kemampuan pembentukan keluarga yang sejahtera. Penelitian dan pengalaman di berbagai Negara, baik Negara maju maupun berkembang termasuk Indonesia, menunkjukan bahwa pernikahan di usia muda mempunyai dampak yang tidak menguntungkan, tidak hanya membawa resiko yang sangat besar terhadap kesehatan dan kesejahteraan ibu-ibu yang mengandung dan melahirkan pada usia muda, tetapi juga terhadap anak hasil pernikahan muda itu.
Menurut Abd. Rahim Umran, nikah dibawah umur dilihat dari beberapa aspek mempunyai beberapa dampak sebagai berikut:
Biologis, secra biologis hubungan suami isteri yang terlalu muda (yang belum dewasa secara fisik) dapat mengakibatkan penderitaan bagi seorang isteri dalam hubungan biologis. Lebih-lebih ketika hamil dan melahirkan.
Sosio-Kultural, secara Sosio-kultural pasangan suami isteri harus memenuhi tuntutan sosial, yakni mengurus rumah tangga dan mengurus anak-anak.
Demografis (kependudukan), secara deografis pernikahan dibawah umur merupakan salah satu faktor lajunya pertumbuhan penduduk yang lebih tinggi.
Selain itu dari segi demografis bila disuatu daerah banyak pernikahan di usia muda, sering ditafsirkan daerah tersebut juga mempunyai tingkat kelahiran yang tinggi. Dengan kata lain pernikahan di usia muda identik dengan tingginya tingkat kelahiran karena masa reproduksi akan lebih lama (15-49 tahun) (T. Suhaemi Harun, 1992:10).
KAWIN GANTUNG
Pengertian Kawin Gantung
Dalam kamus Bahasa Indonesia pengertian kawin gantung adalah pernikahan yang sudah sah tetapi belum diresmikan dengan perayaan atau suami isteri belum serumah.
Menurut Soepomo, pengertian kawin gantung adalah perkawinan antara dua anak yang belum dewasa dan masih tinggal bersama orang tuanya dengan menunda saat hidup bersama. Pada kawin gantung pencatatan pernikahan sudah dilangsungkan, tetapi suami isteri masih tetpa berada di bawah kuasa orang tua masing-masing. Mereka belum hidup bersama layaknya suami isteri, tetapi menunggu sampai anak perempuannya aqil baligh, dan sampai orang tua kedua belah pihak sudah sanggup merayakan pesta perkawinan.
Pelangsungan perniakahannya sangat sederhana, karena si anak ketika dinikahkan belum tahu apa-apa tentang nikah, jadi tidak ada petugas dari Kantor Urusan Agama, yang hadir hanya orang tua dari kedua belah pihak beserta keluarga dekat yang menjadi sebagai saksi, yang ditutup dengan selamatan dengan alakadarnya, tidak ada upacara yang lainya. Setelah dinikahkan seperti itu mereka masing-masing masih tetap sepeti sediakala. Keberadaan mereka berdua tidak tampak sama sekali tanda-tanda sudah dinikahkan, baik campurnya dengan mereka maupun dengan orang lain atau dengan teman-temannya.
Jadi, kawin gantung adalah perkawinan yang dilakukan oleh calon suami dan isteri yang masih kecil dan masa pencampurannya masih ditangguhkan dan juga belum hidup bersama.
Kawin Gantung Dalam Perspektif Hukum Islam
Kawin gantung merupakan istilah adat, yang mempunyai makna yaitu perkawinan antara laki-laki dewasa dengan wanita yang masih kecil atau kedua mempelai masih kecil dan masa pencampurannya ditangguhkan dan juga belum hidup bersama. Menurut hukum islam, tradisi adat istiadat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syara’ dan mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia dibolehkan.
Para fuqaha ada yang membolehkan perkawinan anak-anak, seorang ayah boleh memaksa kawin terhadap anak lelakinya atau anak perempuannya yang belum dewasa, tanpa dimintai pendapatnya. Hal ini didasarkan pada, hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang menjelaskan perkawinan antara ‘Aisyah dengan nabi Muhammad.
Selain itu ada juga ulama yang tidak setuju dengan perkawinan anak kecil, karena hal ini tidak sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 5yang artinya:
“dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya[268], harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”
Dari ayat di atas diketahui bahwa pernikahan tidak boleh diberikan kepada orang yang belum sempurna akalnya, sebab mereka belum dapat mengatur kehidupan maupun hartanya secara baik dan mandiri. Sehingga dikhawatirkan pernikahan muda akan sangat merepotkan dirinya. Dengan alas an inilah para ulama yang tidak setuju dengan pernikahan pada usia muda, karena akan mendatangkan mudharat bagi kehidupan keluarganya kelak.
Sebab terjadinya kawin gantung
Karena satu tujuan, acap kali dua pihak orang tua dari kedua anak kecil yang berlainan jenis (laki-laki dan perempuan) ingin berbesanan (mengawinkan) kedua anaknya yang sama sekali belum dewasa, dan tak tahu sama sekali mengenai perkawinan.
Dilakukan kawin gantung, kemungkinan yang jelas kedua orang tua sama-sama mempunyai kehendak agar anak-anaknya menjadi suami istri. Untuk menentramkan perasaan atas niat itu, dan juga mengukuhkan maksudnya itu, maka ditempuhlah jalan mengawinkan anak-anaknya itu secara simbolik selagi masih kanak-kanak. Selanjutnya dibina secara halus, agar nantinya dapat betul-betul menjadi suami istri yang ideal.
Latar belakang perkawinan anak-anak, antara lain adalah dikarenakan sebagai berikut:
Adanya pesan dari orang tua yang telah meninggal dunia, misalnya dikarenakan diantara orang tua kedua belah pihak mengadakan perjanjian untuk berbesanan agar tali persaudaraan makin kuat.
Untuk mencegah terjadinya pernikahan dengan orang lain yang tidak disetujui orang tua/kerabat yang bersangkutan.
Ada orang tua yang lebih mengutamakan kepentingan sendiri ketimbang kesejahteraan anak-anak. Terkadang ayah yang memaksa anaknya menikah muda mengharapkan kemanfaatan materi yang mereka senangi, tanpa memperhitungkan persetujuan dari calon pengantin yang akan menikah.
NIKAH MASSAL
Pengertian Nikah Massal
Nikah massal adalah nikah yang dilakukan oleh banyak calon pasangan nikah dengan akadnya dilakukan oleh masing-masing kedua calon mempelai secara bergantian, dengan tujuan untuk mendapatkan buku akte nikah yang bisa digunakan mulai masa dari awal tercatat nikah sampai seterusnya.
Pernikahan massal juga dilihat dari segi pelaksanaannya tidak ada bedanya seperti pernikahan biasa, karena dalam bentuk syarat dan rukunnya tidak ada yang berbeda hanya dalam pelaksanaanya dilaksanakan secara kolektif untuk berkumpul bersama di hari yang sama dalam suatu tempat dengan melakukan akad secara bergantian dengan masing-masing pasangan.
Nikah massal yang kebanyakan adalah orang yang sudah menikah di bawah tangan yaitu pasangan yang dinikahkan secara agama Islam dibawah bimbingan para tokoh agama dalam melaksanakan nikah tersebut tanpa mendaftarkan kepada KUA setempat.

Dasar Hukum Nikah Massal
Belum ada aturan maupun perundang-undangan yang mengatur tentang nikah massal. Maka pelaksanaan nikah massal bisa disandarkan pada asas Mashlahah Mursalah, demi terciptanya kemashlahatan dalam suatu perkawinan dalam mendapatkan legalitas hukum dan hubungan pernikahannya tetap terjaga yakni dengan memiliki buku akte nikah. Hal ini berkaitan dengan adanya suatu kodifikasi perkawinan atau pencatatan nikah secara administrasi Negara yang telah diatur oleh undang-undang yang berlaku.
Status hukum pada pernikahan masal untuk pasangan yang sudah nikah secara syariah islam adalah tajdid nikah, karena pernikahan mereka menurut hukum positif tidak berlaku, kemudian diakuinya pernikahan mereka pada saat tercatat pada hari pernikahan yang kedua yaitu di saat nikah massal.
Nikah massal dilaksanakan berdasarkan beberapa hal diantaranya:
Legalitas Hukum
Nikah massal dilaksanakan untuk memberi legalitas hukum bagi pesertanya terutama bagi yang sudah menikah secara hukum syari’at islam namun belum dicatat di Kantor Urusan Agama.
Biaya
Biasanya pelaksanaan nikah masal tidak dipungut biaya atau gratis sehingga cukup menyerap para warga yang berkeinginan untuk menikah namun tidak punya biaya untuk merayakan perkawinan, dan ini merupakan program pemerintah sebagai wujud perhatian pemerintah daerah terhadap masyarakat di wilayahnya dan bertujuan membantu mereka yang kurang mampu untuk merayakan pernikahan.
Prosedur sulit
Pernikahan massal juga dilaksanakan untuk membantu pasangan yang merasa kesusahan dengan prosedur pencatatan yang dirasa berbelit-belit. Pengurusan prosedur pencatatan nikah di Kantor Urusan Agama harus melalui tahap-tahap yang terkadang merepotkan orang-orang yang ingin mencatatkan perkawinannya.