Rabu, 17 November 2010

ADR

BAB I

PENDAHULUAN

Sejak dahulu masyarakat mengenal apa yang disebut dengan perikatan, baik yang lahir karena undang-undang maupun karena perjanjian. Dengan terikatnya para pihak dalam suatu perjanjian, maka para pihak harus melaksanakannya karena setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku seperti undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Akan tetapi, kadangkala dalam pelaksanaannya mungkin saja mengalami hambatan-hambatan yang pada akhirnya mempengaruhi tujuan dari perjanjian yang mereka buat. Bahkan lebih berat lagi dapat menimbulkan perselisihan atau konflik akibat tidak dapat dilaksanakannya perjanjian itu oleh salah satu pihak.

Ada berbagai macam cara untuk memperoleh kesepakatan dalam menyelesaikan sengketa atau konflik yang mereka hadapi.dalam perkembangannya, masyarakat yang semain modern meninggalkan cara-cara lama (yang merupakan kebiasaan) dan beralih ke cara-cara hukum/yuridis sehingga warga masyarakat tampak secara berangsur-angsur mulai menggunakan cara penyelesaian sengketa yang diakui pemerintah.

Cara penyelesaian sengketa yang selama ini kita kenal adalah cara penyelesaian secara yuridis dan nonyuridis, dan ada pula yang menyebutnya cara malalui pengadilan dan tidak melalui pengadilan. Cara yuridis, nonyuridis dan cara melalui pengadilan, tidak melalui pengadilan ini pada prinsipnya sama saja, tergantung dari sudut mana kita meninjaunya.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau yang lazim disebut Alternative Dispute Resolution (ADR) mempunyai prosedur yang lebih sederhana dengan jangka waktu yang singkat, dan pemeriksaan perkara dilakukan secara tertutup. Keuntungan penyelesaian dengan cara tersebut adalah putusannya bersifat final (tanpa kemungkinan banding) dan mengikat kedua belah pihak. Selain itu para pihak yang berperkara dapat menunjuk atau memilih sendiri pihak ketiga yang dipandang memiliki keahlian untuk menyelesaikan sengketa. Di Indonesia peraturan mengenai penyelesaian sengketa di luar pengadilan diatur dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (tanggal 12 Agustus 1999). Adapun penyelesaian sengketa di luar pengadilan terdiri dari:

1. Negosiasi, dalam bahasa sehari-hari kata negosiasi sering disebut dengan istilah “berunding” atau “bermusyawarah” sedangkan orang yang mengadakan perundingan disebut negosiator. Secara umum negosiasi dapat diartikan sebagai suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerjasama yang lebih harmonis dan kreatif, disini para pihak berhadapan langsung secara seksama dalam mendiskusikan permasalahan yang dihadapi dengan cara kooperatif dan saling terbuka.[1]

Pada umumnya proses negosiasi merupakan suatu proses alternatif penyelesaian sengketa yang bersifat informal, tidak ada suatu kewajiban bagi para pihak untuk melakukan pertemuan secara langsung, pada saat negosiasi dilakukan negosiasi tersebut tidak harus dilakukan oleh para pihak sendiri. Melalui negosiasi para pihak yang berselisih atau bersengketa dapat melakukan suatu proses penjajakan kembali akan hak dan kewajiban para pihak dengan melalui suatu situasi yang sama-sama menguntungkan “win-win solution“ dengan melepaskan atau memberikan kelonggaran (concession) atas hak-hak tertentu berdasarkan pada asas timbal balik.

2. Mediasi atau dalam bahasa Inggris disebut dengan mediation adalah penyelesaian sengketa dengan menengahi, sedangkan mediator adalah orang yang menjadi penengah. Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator atau terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat. Dengan kata lain mediasi yaitu proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu memperoleh kesepakatan perjanjian secara memuaskan.

3. Konsiliasi, adalah proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkan kepada komisi orang-orang yang bertugas untuk menguraikan/menjelaskan fakta, membuat usulan-usulan untuk suatu penyelesaian namun keputusannya tidak mengikat.

4. Arbitrase, adalah cara penyelesaian sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersangkutan.

Dalam praktek kenyataannya, orang-orang yang bersengketa di Indonesia lebih banyak memilih penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase karena mereka menganggap proses penyelesaian dalam arbitrase dinilai lebih cepat dan hemat biaya, dengan menyerahkannya kepada wasit/arbitrase yang dianggap memiliki keahlian mengenai persoalan yang dipersengkatakan serta keputusannya bersifat rahasia (hanya diketahui oleh para pihak saja). Sedangkan lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan lainnya seperti negosiasi, mediasi, dan konsiliasi masih jarang digunakan dan kurang familiar. Maka dalam makalah ini kami lebih banyak membahas tentang arbitrase.

B. Pengertian Arbitrase

Arbitrase menurut Frank Elkoury “suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.”[2]

Menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum, Pasal 1 huruf 1, arbitrase adalah “cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”

Menurut peraturan prosedur BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia), arbitrase adalah memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul mengenai perdagangan, industry, keuangan, baik yang bersifat nasional maupun internasional. (Pasal 1 AD BANI).[3]

Dan peraturan prosedur BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia), arbirase adalah penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan perdagangan, industry, keuangan, jasa dan lain-lain serta memberikan suatu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan yang berkenaan dengan perjanjian (Pasal 1 AD BAMUI).[4]

Berbagai pengertian arbitrase di atas menunjukan adanya unsur-unsur yang sama, yaitu:

1. Adanya kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa-sengketa, baik yang akan terjadi maupun telah terjadi, kepada seorang atau beberapa orang pihak ketiga di luar peradilan umum untuk diputuskan.

2. Penyelesaian sengketa yang dapat diselesaikan adalah sengketa yang menyangkut hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya, khususnya disini dalam bidang perdagangan, industri dan keuangan, dan

3. Putusan tersebut akan merupakan putusan akhir dan mengikat (final and binding)

C. Asas dan Tujuan Arbitrase

Sehubungan dengan definisi arbitrase di atas, terlihat bahwa penyelesaian perselisihan melalui arbitrase terdapat pihak-pihak yang berselisih sebagai akibat hukum yang terjadi dalam bidang bisnis dan industri. Di dalam perselisihan tersebut, mereka sepakat untuk menyelesaikan perselisihan mereka dengan menunjuk satu atau beberapa orang arbiter. Dengan demikian, asas-asas yang dapat dipetik dari perumusan definisi di atas adalah sebagai berikut:

1. Asas kesepakatan. Artinya kesepakatan para pihak untuk menyeselaikan perselisihan secara damai, seia-sekata atau sepaham untuk menunjuk seorang atau beberapa orang arbiter.

2. Asas musyawarah, yaitu setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara musyarawah baik antara arbiter dengan para pihak maupun antar pihak arbiter itu sendiri.

3. Asas limitatif, yaitu adanya pembatasan dalam penyelesaian perselisihan melalui arbitrase terbatas pada perselisihan-perselisihan di bidang perdagangan/bisnis dan industri atau hak-hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya oleh para pihak dalam klausula atau perjanjian arbitrase mereka.

Sehubungan dengan asas tersebut, tujuan arbitrase itu sendiri adalah untuk menyelesaikan perselisihan dalam bidang perdagangan/bisnis dan industri, dan hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya oleh para pihak dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil, tanpa adanya formalitas atau prosedur yang berbelit yang dapat menghambat penyelesaian perselisihan.

Secara umum dinyatakan bahwa lembaga arbitrase mempunyai kelebihan di bandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain:

1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak.

2. Dapat dihindarkan kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedur dan administratif.

3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengkatan, jujur, dan adil.

4. Para pihak dapat menentukan tempat penyelenggaraan arbitrase, dan

5. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja atau pun dapat langsung dilaksanakan

Lembaga Arbitrase

Lembaga yang dimaksudkan disini adalah suatu badan yang sengaja diadakan atau didirikan untuk menyelesaikan sengketa/perselisihan. Menurut pasal 1 angka 8 UU No. 30 tahun 1999, lembaga arbitrase adalah “badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau Lembaga Arbitrase untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase”.

Beberapa lembaga arbitrase bersifat nasional, regional, dan internasional yang dikenal adalah:

1. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI);

2. Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI);

3. Asia-Africa Legal Consultative Commite (AALCC);

4. The International Centre fot Settlement of Invesment Disputes;

5. The Court of Arbitrasetion if The International Chamber of Commerce (ICC);

6. Austria: The Arbitral Center of The Federal Economic Chamber;

7. India: The Indian Council of Arbitration;

8. Italia: Associazione Italliaana per l’Arbitrato;

9. Jepang: The Japan Commercial Arbitration;

10. Nederland: The Nederlands Arbitration;

11. Polandia: the Court of Arbitration at the Polish;

12. Rumania: The Foreign trade Arbitration Commission;

13. Swedia: The Stokholm Arbitration Institute;

14. Switzerland: The Court of Arbitration of the Zurich Chamber of Commerce;

15. USA: The American Arbitration Association.

Arbiter

Undang-undang arbitrase tidak menentukan siapa yang dapat menjadi arbiter. Tetapi pasal 12 undang-undang arbitrase menentukan beberapa persyaratan untuk menjadi arbiter. Persyaratan tersebut antara lain:

1. Memiliki kapasitas yang diakui oleh hukum Indonesia.

2. Minimal berumur 25 tahun.

3. Tidak memiliki hubungan apapun dengan para pihak, termasuk hubungan keluarga atau keuangan, dan

4. Harus memiliki kewenangan selama 15 tahun di bidangnya.

Undang-undang arbitrse menentukan bahwa hakim, jaksa, dan pejabat pengadilan lainnya tidak berwenang untuk bertindak sebagai arbiter. Sama dengan itu, Rv juga mengatur persyaratan untuk arbiter tetapi tidak menyebutkan persyaratan wajib memiliki pengalaman yang cukup lama dalam bidangnya (yaitu 15 tahun pengalaman). Hal ini merupakan ketentuan baru dan positif dalam undang-undang tersebut guna mencapai solusi yang memuaskan.

Menurut Rv, setiap pihak dapat menentang arbiter yang dipilih “karena alasan alasan tertentu setelah pencalonan”.[5] Menurut undang-undang arbitrase, ketentuan ini tidak banyak berubah. Namun, sebelum perlawanan diajukan, para pihak memiliki cukup bukti yang dapat menimbulkan keragu-raguan bahwa arbiter (yang ditunjuk oleh para pihak lain) tidak akan bebas atau lepas dalam membuat putusan. Perlawanan terhadap arbiter juga dapat dibuat jika terdapat bukti bahwa arbiter yang ditunjuk memiliki hubungan keluarga, financial atau hubungan kerja dengan salah satu pihak atau kuasanya.

Undang-undang arbitrase memberikan kebebasan bagi para pihak untuk membuat perjanjian mengenai jumlah arbiter untuk menyelesaikan sengketa. Tetapi undang-undang tersebut juga secara implicit menunjuk satu atau tiga arbiter.

Apabila para pihal gagal untuk memilih arbiternya, maka ketua Pengadilan Negeri dimana arbitrase dilangsungkan dapat memilih arbiter untuk para pihak.

Penunjukan Arbiter

Jika jumlah arbiter tiga orang, arbiter yang dipilih oleh masing-masing pihak dapat memilih arbiter ketiga sebagai presiden atau ketua majlis atau dewan arbitrase. Jika hanya ada satu arbiter yang dipilih oleh salah satu pihak sedangkan pihak lain gagal atau tidak dapat memilih arbiter, arbitrase itu harus diketuai oleh arbiter tunggal tersebut.

Arbiter memiliki hak untuk menerima atau menolak penunjukannya untuk menjadi arbiter. Apabila ia menolak atau menerima penunjukannya maka dia wajib melaporkan secara tertulis kepada para pihak dalam jangka waktu 14 hari sejak tanggal penunjukan.

Jika penolakan tersebut diterima oleh para pihak, penunjukan arbiter baru dilakukan sesuai dengan aturan yang tersedia untuk penunjukan arbiter sebelumnya. Dalam melaksanakan tugasnya seorang arbiter tidak diperbolehkan mengundurkan diri kecuali dengan persetujuan para pihak.

Apabila para pihak menyetujui pengunduran diri arbiter tersebut, maka harus dibuat dalam keputusan ketua Pengadilan Negeri.

Tempat Arbitrasi

Ketentuan tentang tempat arbitrase merupakan hal yang baru. Rv tidak mengatur masalah ini. Menurut pasal 37, tempat arbitrase akan ditentukan oleh para pihak. Namun arbitrase dapat mendengar pendapat ahli di luar dari tempat yang telah disepakati. Penyelidikan keterangan saksi ahli atau ahli dilakukan sesuai dengan Rv. Arbitrase juga dapat bersidang di tempat dimana obyek atau benda tersebut berada.

Ketentuan baru yang lain dalam prosedur arbitrase yang digambarkan dalam undang-undang, yakni:

a. Prosedur arbitrase harus dilakukan secara tertutup,

b. Bahasa yang digunakan dalam proses arbitrase adalah bahasa Indonesia, keculai apabila disepakati lain oleh para pihak,

c. UU menjamin bahwa masing-masing memiliki kesempatan dan hak yang sama untuk didengarkan dalam proses arbitrase,

d. Pihak ketiga dapat ikut serta dalam arbitrase jika ia memiliki kepentingan dalam sengketa dan diizinkan oleh arbiter.

Pasal 45 mensyaratkan bahwa dalam menyelesaikan suatu sengketa, arbiter harus pertama-tama mencari penyelesaian secara damai. Jika para pihak pada akhirnya setuju dan menyelesaikan sengketa tersebut, arbiter harus mencantumkan putusan yang mengikat para pihak.

Berdasarkan pasal 46, apabila penyelesaian gagal, proses arbitrase terus berlangsung. Dalam hal ini, para pihak diminta untuk memasukkan pembelaan secara tertulis dan bukti-bukti dalam jangka waktu yang ditentukan arbiter.

Pada umumnya, arbiter akan membuat putusan berdasarkan pembelaan tertulis, bukti-bukti dan dokumen-dokumen lain. Keseluruhan proses arbitrase dan pembuatan putusan memakan waktu selama 180 hari (6 bulan). Namun arbiter dapat memperpanjang batas waktu tersebut. Batas waktu 6 bulan juga terdapat dalam Rv.

Prosedur Arbitrase

Apabila para pihak telah setuju/sepakat untuk mengajukan sengketa mereka kepada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau dalam klausula arbitrase telah diperjanjikan bahwa sengketa yang timbul akan diselesaikan menurut peraturan prosedur BANI dan diperjanjikan pula akan diselesaikan oleh para arbiter yang ditunjuk oleh badan tersebut, prosedurnya adalah sebagai berikut:

1. Permohonan Arbitrase

Prosedur arbitrase menurut Peraturan Prosedur Arbitrase BANI (yang berlaku mulai tanggal 3 Desember 1977, diperbaiki tanggal 3 Desember 1980), dalam tahap pertama dimulai dengan mengajukan permohonan arbitrase, dan surat permohonan tersebut akan didaftarkan oleh sekretaris BANI dalam suatu register yang khusus untuk itu. Surat permohonan tersebut harus memuat:

a. Nama lengkap dan tempat tinggal (tempat kedudukan) kedua belah pihak yang berselisih,

b. Uraian singkat tentang duduknya perkara, dan

c. Apa yang dituntut.

Pada surat permohonan itu harus dilampirkan salinan naskah atau akta perjanjian yang secara khusus menyerahkan pemutusan sengketa kepada arbiter/majlis arbitrase (akta kompromis), atau perjanjian yang memuat klausula bahwa sengketa yang akan timbul dari perjanjian tersebut akan diputus oleh arbiter/majlis arbitrase (pactum de comprometindo).

2. Para Pihak Tidak Menunjuk Arbiter

Apabila para pihak tidak menunuk seorang arbiter, maka ketua BANI akan menunjuk (membentuk) suatu tim yang terdiri atas tiga orang arbiter yang akan memeriksa dan memutus sengketanya. Jika sengketa itu dianggap sederhana dan mudah, ketua BANI akan menunjuk seorang arbiter tunggal untuk memeriksa dan memutusnya. Arbiter yang ditunjuk oleh ketua BANI itu dipilih dari para anggota tidak tetap (arbiter) BANI.

3. Proses Pemeriksaan dan tenggang waktu yang diperlukan

Menurut Undang-Undang No.30 Tahun 1999, para pihak dalam suatu perjanjian tegas tertulis bebas untuk menentukan acara (proses pemeriksaan) arbitrase yang digunakan dalam persidangan sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 30 Tahun 1999 tersebut. Demikian juga para pihak bebas menentukan jangka waktu dan tempat diselenggarakannya pemeriksaan/persidangan, termasuk arbiter atau majelis arbitrase yang akan memutuskan.

Berbeda dengan ketentuan UU No. 30 Tahun 1999, peraturan prosedur BANI mengatur secara lengkap proses pemerikasaan dan tata cara yang diperlukan. Proses pemeriksaan dan tata cara menurut peraturan prosedur BANI yang akan diberlakukan apabila memang para pihak bersepakat untuk menggunakannya.

Jelasnya proses pemeriksaan dan tata cara menurut peraturan prosedur BANI adalah sebagai berikut.

Segera setelah diterima jawaban dari si termohon, atas perintah Ketua BANI, salinan jawaban tersebut diserahkan kepada pemohon. Bersamaan dengan itu, Ketua BANI memerintahkan kepada kedua belah pihak untuk menghadap di muka siding arbitrase pada waktu yang ditetapkan selambat-lambatnya 14 hari terhitung mulai dari dikeluarkannya perintah itu dengan pemberitauhan bahwa mereka boleh mewakilkan pada seorang kuasa dengan surat kuasa hukum.

Apabila si termohon, setelah lewat 30 hari sebagaimana disebutkan dalam perintah pertama Ketua BANI, tidak menyampaikan jawabannya, Ketua BANI akan memerintahkan memanggil kedua belah pihak dengan cara seperti disebutkan di atas. Dalam jawabannya, atau paling lambat dalam sidang pertama, si termohon dapat mengajukan tuntutan balasan. Tuntutan balasan ini oleh majelis akan diperiksa dan diputus bersama-sama dengan tuntutan asli si pemohon.

Putusan Arbitrase

Menurut pasal 54 undang-undang arbitrase, putusan harus memuat syarat-syarat sebagai berikut:

a. Kepala putusan

b. Nama sengketa

c. Deskripsi sengketa (pokok sengketa)

d. Argument para pihak

e. Nama dan alamat arbiter

f. Pertimbangan arbiter dan kesimpulan

g. Pendapat arbiter

h. Amar putusan

i. Tanggal dan tempat putusan dikeluarkan

Dasar Hukum Arbitrase

Dasar hukum yang digunakan untuk berabitrase, baik dalam kerangka arbitrase nasional maupun arbitrase internasional, adalah:

1. UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa Umum,

2. UU No. 5 tahun 1968 tentang Persetujuan Atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal,

3. Keputusan Presiden No. 34 tahun 1981 tentang Pengesahan Konvensi New York 1958,

4. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1990 Mengenai Peraturan Lebih Lanjut dan Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Asing,

5. Rv yang dalam pasal 615 dinyatakan bahwa “adalah diperkenankan kepada siapa saja yang terlibat dalam suatu sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam kekuasaannya untuk melepaskannya untuk menyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada seorang atau beberapa orang asing”.

Pembatalan Putusan Arbitrase

Pasal 70 Undang-undang no.30 tahun 1999 memuat ketentuan tentang persyaratan secara limitative mengenai pembatalan arbitrase, yaitu:

a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dilakukan, diakui palsu atau dinyatakan palsu

b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau

c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

DAFTAR PUSTAKA

· Sudiarto, et.al, Mengenal Arbitrase, 2004, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

· Syaiful Watni, et. al, Analisis dan Evaluasi Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase (UU No. 30 Tahun 1999), 2006, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI.



[1] Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis: Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 88.

[2] Sudiarto, et.al, Mengenal Arbitrase, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 29.

[3] Sudiarto, et.al, Mengenal Arbitrase, hal. 30.

[4] Sudiarto, et.al, Mengenal Arbitrase, hal. 30.

[5] Syaiful Watni, et. Al, Analisis dan Evaluasi Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase (UU No. 30 Tahun 1999), Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, 2006, hal. 13