Minggu, 15 November 2009

nikah bawah umur, nikah massal dan kawin gantung

NIKAH DIBAWAH UMUR
Akhir-akhir ini usia kawin (usia yang diizinkan untuk melangsungkan perkawinan) menjadi pembicaraan para ahli dalam dunia kedokteran karena perkawinan di usia muda disinyalir berdampak pada meningkatnya angka kelahiran dan resiko lainnya yaitu meningkatnya angka kematian bayi dan ibu yang melahirkan.
Untuk itu pengetahuan tentang penentuan batas umur untuk melangsungkan perkawinan sangatlah penting sekali. Batasan usia yang dimaksud disini adalah usiaminimal bagi calon suami dan calon istri yang layak untuk kawin. Ajaran islam tidak pernah memberikan batasan yang definitiv pada usia berapa seseorang dianggap dewasa.
Hukum islam telah menentukan tingkat kedewasaan dengan suatu indikasi adanya kematangan jiwa yang diisyaratkan dengan ihtilam bagi laki-laki atau haid bagi wanita. Kapan seseorang ihtilam atau haid secara eksplisit tidak disebutkan dengan angka-angka batas usia.
Menurut para ulama, menentukan batas usia menikah menurut islam bisa dikembalikan kepada beberapa landasan, yaitu:
Usia menikah yang dihubungkan dengan usia dewasa (baligh).
Usia yang dibolehkan kawin didasarkan pada penentuan batas baligh (mukallaf), landasannya kepada hadis nabi yang berbunyi:
عن ابن مسعود قال: قال رسول الله صلي الله عليه وسلم: يَا مَعْشَرَ الشَبّابِ مَنِ اسْتَطا عَ مِنْكمُ البَاءَة فَليَتزوَّجْ: فَإنّهُ أغَضّ لِلبَصَرِ وَ أحْصَنُ لِلفَرْجِ وَمَنْ لمْ يَسْتطِعْ فَعَليْهِ بالصَّوْمِ فإنَّهُ لهُ وِجَاءٌ (متفق عليه)
“ Dari Ibnu Mas”ud seraya berkata, Rasulullah saw bersabda: Hai golongan pemuda! Bila diantara kamu ada yang sudah mampu kawin hendaklah ia kawin, karena nanti matanya akan lebih terjaga dan kemaluannya akan lebih terpelihara. Dan bilamana ia belum mampu kawin, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu ibarat pengebiri”. (Muttafaq ‘alaih)
Dalam hadis ini dijelaskan bahwa orang yang dinyatakan mukallaf adalah anak kecil yang sudah bermimpi senggama (ihtilam). Arti الباءة menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya fiqhus sunnah menyatakan الباءة adalah jima’. Barang siapa yang sanggup diantara kalian untuk berjima’ dikarenakan mampunya dia atas biaya pernikahan dan barang siapa yang tidak mampu untuk berjima’ karena lemahnya ia dalam biaya pernikahan maka hendaknya ia berpuasa untuk mengekang syahwatnya dan memutuskan kejahatan air maninya sebagaimana ia terhalang oleh sebuah benteng.
Usia menikah yang didasarkan terhadap keumuman arti ayat Al-Qur’an yang menyebutkan batas kemampuan untuk menikah.
Selanjutnya, dalam al Qur’an disebutkan tentang cukup umur untuk kawin, dengan kata rusyd (cerdas), firman Allah yang artinya:
“dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya…” (Q.S. An Nisa/4:6)
Menurut ulama Ushul Fiqh, kalimat “cuckup umur” pada ayat diatas menunjukan seseorang telah bermimpi dengan ,mengeluarkan mani untuk pria dan haid untuk wanita. Orang yang seperti init telah dianggap cakap intuk melakukan tindakan hukum sehingga seluruh perintah dan larangan syara’ dapat ia pikirkan dengan sebaik-baiknya dan dapat ia laksanakan dengan benar.
Nikah di bawah umur menurut hukum positif
Dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan pada bab 2 padal 7 disebutkan bahwasanya perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Di sini jelas bahwa batas umur terendah untuk menikah menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Tetapi dalam umur ini mereka sebenarnya masih belum dapat berdiri sendiri dan hendak menikah harus seizing orang tua. Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan bab II pada pasal 6 menegaskan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua.
Kalau kita perhatikan, maka dalam pasal ini terdapat dua petunjuk, yaitu:
Bahwa umur 19 tahun bagi pria (usia SLTA) dan 16 tahun bagi wanita (usia SLTP) adalah usia muda untuk menikah. Walaupun sudah diperbolehkan tetapi peranan orang tua sangat di perlukan untuk membimbing, menolong dan member izin dengan segala tanggung jawabnya.
Bahwa izin orang tua sangat menentukan. Tanpa izin orang tua, perkawinan tak dapat dilangsungkan. Hal ini merupakan petunjuk bagi anak-anak bahwa mereka wajib menghormati orang tua, mendengar nasihat dan pendapat keduanya walaupun batas umur sudah boleh menikah.
Dari sisi lain, perkawinan juga mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan . terbuktilah batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk menikah mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi.
Karena itu sangat beralasan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 7 menetukan batas umur tentang nikah baik bagi pria maupun wanita ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
Sebab Terjadinya Pernikahan Di Bawah Umur
Pada umumnya, yang menjadi penyebab terjadinya pernikahan di bawah umur adalah karena terjadinya faktor budaya dan pendidikan. Walaupun ada sebab lain yang mempengaruhinya, tetapi hal itu merupakan rangkaian yang sifatnya sebagai pelengkap.
Dari beberapa hal yang melatar belakangi tingginya pernikahan pada usia muda faktor paling dominan adalah karena rendahnya tingkat pendidikan. Bahkan pendidikanlah yang menjadi inti masalah ini. Karena dengan pendidikan dapat merubah pola fikir dan pandangan dari yang tidak baik menjadi lebih baik, dari yang tidak rasional menjadi rasional dan realistis. Tetapi ini merupakan sebuah harapan ideal tanpa melihat kendala yang dihadapi.
Selain faktor-faktor tadi yang sifatnya internal, juga ada sebab lain sebagai pendorong yang setidaknya memberikan peluang dan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada para pemuda untuk menikah pada usia muda adalah Undang-undang perkawinan.karena walaupun ada batasan tentang usia minimal 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita, tetapi ada kebolehan bagi yang belum mencapai usia tersebut. Kebolehan ini secara prosedural sangat mudah didapat dan tidak ada sedikitpun kesulitan dalam kepengurusannya. Tidak ada satu pun pemikiran bagi masyarakat bahwa batasan usia pada perkawinan semestinya memiliki ketentuan yang harus ditaati, sebab pada aplikasinya merupakan sebuah ketentuan tanpa memiliki kewenangan.
Sebenarnya pernikahan dibawah umur di zaman kemajuan teknologi ini merupakan setback (mundur) kezaman lampau diwaktu pendidikan masih belum demikian berkembang dan anak-anak gadis masih dalam pingitan. Di masa lampau pernikahan dibawah umur umumnya disebabkan oleh:
Keinginan orang tua yang ingin cepat-cepat mengambil menantu.
Karena ada lamaran dari orang-orang yang disegani dan orang tua khawatir tidak dapat lagi calon seperti itu.
Kerena unsur materi yang ingin anaknya berbahagia jika sudah menikah (besanan dengan orang kaya, mengharapkan anaknya dapat tertolong).
Dari yang bersangkutan sendiri ingin cepat menikah karena ingin cepat bebas dan mengira hidup berumah tangga lebih nikmat.
Karena malu oleh teman sebaya yang sudah menikah atau orang tua khawatir anaknya menjadi perawan tua atau bujang tak laku, mereka didesak oleh adat istiadat.
Dampak Pernikahan Di Bawah Umur
Pernikahan usia muda mempunyai pengaruh besar terhadap tingginya angka kematian ibu, bayi dan umur harapan hidup, yaitu kesakitan dan kematian ibu di usia muda serta kesakitan dan kematian anak-anaknya relativ lebih tinggi dari usia ibu lainnya, bahkan pengaruh terhadap pendidikan anak dan kemampuan pembentukan keluarga yang sejahtera. Penelitian dan pengalaman di berbagai Negara, baik Negara maju maupun berkembang termasuk Indonesia, menunkjukan bahwa pernikahan di usia muda mempunyai dampak yang tidak menguntungkan, tidak hanya membawa resiko yang sangat besar terhadap kesehatan dan kesejahteraan ibu-ibu yang mengandung dan melahirkan pada usia muda, tetapi juga terhadap anak hasil pernikahan muda itu.
Menurut Abd. Rahim Umran, nikah dibawah umur dilihat dari beberapa aspek mempunyai beberapa dampak sebagai berikut:
Biologis, secra biologis hubungan suami isteri yang terlalu muda (yang belum dewasa secara fisik) dapat mengakibatkan penderitaan bagi seorang isteri dalam hubungan biologis. Lebih-lebih ketika hamil dan melahirkan.
Sosio-Kultural, secara Sosio-kultural pasangan suami isteri harus memenuhi tuntutan sosial, yakni mengurus rumah tangga dan mengurus anak-anak.
Demografis (kependudukan), secara deografis pernikahan dibawah umur merupakan salah satu faktor lajunya pertumbuhan penduduk yang lebih tinggi.
Selain itu dari segi demografis bila disuatu daerah banyak pernikahan di usia muda, sering ditafsirkan daerah tersebut juga mempunyai tingkat kelahiran yang tinggi. Dengan kata lain pernikahan di usia muda identik dengan tingginya tingkat kelahiran karena masa reproduksi akan lebih lama (15-49 tahun) (T. Suhaemi Harun, 1992:10).
KAWIN GANTUNG
Pengertian Kawin Gantung
Dalam kamus Bahasa Indonesia pengertian kawin gantung adalah pernikahan yang sudah sah tetapi belum diresmikan dengan perayaan atau suami isteri belum serumah.
Menurut Soepomo, pengertian kawin gantung adalah perkawinan antara dua anak yang belum dewasa dan masih tinggal bersama orang tuanya dengan menunda saat hidup bersama. Pada kawin gantung pencatatan pernikahan sudah dilangsungkan, tetapi suami isteri masih tetpa berada di bawah kuasa orang tua masing-masing. Mereka belum hidup bersama layaknya suami isteri, tetapi menunggu sampai anak perempuannya aqil baligh, dan sampai orang tua kedua belah pihak sudah sanggup merayakan pesta perkawinan.
Pelangsungan perniakahannya sangat sederhana, karena si anak ketika dinikahkan belum tahu apa-apa tentang nikah, jadi tidak ada petugas dari Kantor Urusan Agama, yang hadir hanya orang tua dari kedua belah pihak beserta keluarga dekat yang menjadi sebagai saksi, yang ditutup dengan selamatan dengan alakadarnya, tidak ada upacara yang lainya. Setelah dinikahkan seperti itu mereka masing-masing masih tetap sepeti sediakala. Keberadaan mereka berdua tidak tampak sama sekali tanda-tanda sudah dinikahkan, baik campurnya dengan mereka maupun dengan orang lain atau dengan teman-temannya.
Jadi, kawin gantung adalah perkawinan yang dilakukan oleh calon suami dan isteri yang masih kecil dan masa pencampurannya masih ditangguhkan dan juga belum hidup bersama.
Kawin Gantung Dalam Perspektif Hukum Islam
Kawin gantung merupakan istilah adat, yang mempunyai makna yaitu perkawinan antara laki-laki dewasa dengan wanita yang masih kecil atau kedua mempelai masih kecil dan masa pencampurannya ditangguhkan dan juga belum hidup bersama. Menurut hukum islam, tradisi adat istiadat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syara’ dan mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia dibolehkan.
Para fuqaha ada yang membolehkan perkawinan anak-anak, seorang ayah boleh memaksa kawin terhadap anak lelakinya atau anak perempuannya yang belum dewasa, tanpa dimintai pendapatnya. Hal ini didasarkan pada, hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang menjelaskan perkawinan antara ‘Aisyah dengan nabi Muhammad.
Selain itu ada juga ulama yang tidak setuju dengan perkawinan anak kecil, karena hal ini tidak sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 5yang artinya:
“dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya[268], harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”
Dari ayat di atas diketahui bahwa pernikahan tidak boleh diberikan kepada orang yang belum sempurna akalnya, sebab mereka belum dapat mengatur kehidupan maupun hartanya secara baik dan mandiri. Sehingga dikhawatirkan pernikahan muda akan sangat merepotkan dirinya. Dengan alas an inilah para ulama yang tidak setuju dengan pernikahan pada usia muda, karena akan mendatangkan mudharat bagi kehidupan keluarganya kelak.
Sebab terjadinya kawin gantung
Karena satu tujuan, acap kali dua pihak orang tua dari kedua anak kecil yang berlainan jenis (laki-laki dan perempuan) ingin berbesanan (mengawinkan) kedua anaknya yang sama sekali belum dewasa, dan tak tahu sama sekali mengenai perkawinan.
Dilakukan kawin gantung, kemungkinan yang jelas kedua orang tua sama-sama mempunyai kehendak agar anak-anaknya menjadi suami istri. Untuk menentramkan perasaan atas niat itu, dan juga mengukuhkan maksudnya itu, maka ditempuhlah jalan mengawinkan anak-anaknya itu secara simbolik selagi masih kanak-kanak. Selanjutnya dibina secara halus, agar nantinya dapat betul-betul menjadi suami istri yang ideal.
Latar belakang perkawinan anak-anak, antara lain adalah dikarenakan sebagai berikut:
Adanya pesan dari orang tua yang telah meninggal dunia, misalnya dikarenakan diantara orang tua kedua belah pihak mengadakan perjanjian untuk berbesanan agar tali persaudaraan makin kuat.
Untuk mencegah terjadinya pernikahan dengan orang lain yang tidak disetujui orang tua/kerabat yang bersangkutan.
Ada orang tua yang lebih mengutamakan kepentingan sendiri ketimbang kesejahteraan anak-anak. Terkadang ayah yang memaksa anaknya menikah muda mengharapkan kemanfaatan materi yang mereka senangi, tanpa memperhitungkan persetujuan dari calon pengantin yang akan menikah.
NIKAH MASSAL
Pengertian Nikah Massal
Nikah massal adalah nikah yang dilakukan oleh banyak calon pasangan nikah dengan akadnya dilakukan oleh masing-masing kedua calon mempelai secara bergantian, dengan tujuan untuk mendapatkan buku akte nikah yang bisa digunakan mulai masa dari awal tercatat nikah sampai seterusnya.
Pernikahan massal juga dilihat dari segi pelaksanaannya tidak ada bedanya seperti pernikahan biasa, karena dalam bentuk syarat dan rukunnya tidak ada yang berbeda hanya dalam pelaksanaanya dilaksanakan secara kolektif untuk berkumpul bersama di hari yang sama dalam suatu tempat dengan melakukan akad secara bergantian dengan masing-masing pasangan.
Nikah massal yang kebanyakan adalah orang yang sudah menikah di bawah tangan yaitu pasangan yang dinikahkan secara agama Islam dibawah bimbingan para tokoh agama dalam melaksanakan nikah tersebut tanpa mendaftarkan kepada KUA setempat.

Dasar Hukum Nikah Massal
Belum ada aturan maupun perundang-undangan yang mengatur tentang nikah massal. Maka pelaksanaan nikah massal bisa disandarkan pada asas Mashlahah Mursalah, demi terciptanya kemashlahatan dalam suatu perkawinan dalam mendapatkan legalitas hukum dan hubungan pernikahannya tetap terjaga yakni dengan memiliki buku akte nikah. Hal ini berkaitan dengan adanya suatu kodifikasi perkawinan atau pencatatan nikah secara administrasi Negara yang telah diatur oleh undang-undang yang berlaku.
Status hukum pada pernikahan masal untuk pasangan yang sudah nikah secara syariah islam adalah tajdid nikah, karena pernikahan mereka menurut hukum positif tidak berlaku, kemudian diakuinya pernikahan mereka pada saat tercatat pada hari pernikahan yang kedua yaitu di saat nikah massal.
Nikah massal dilaksanakan berdasarkan beberapa hal diantaranya:
Legalitas Hukum
Nikah massal dilaksanakan untuk memberi legalitas hukum bagi pesertanya terutama bagi yang sudah menikah secara hukum syari’at islam namun belum dicatat di Kantor Urusan Agama.
Biaya
Biasanya pelaksanaan nikah masal tidak dipungut biaya atau gratis sehingga cukup menyerap para warga yang berkeinginan untuk menikah namun tidak punya biaya untuk merayakan perkawinan, dan ini merupakan program pemerintah sebagai wujud perhatian pemerintah daerah terhadap masyarakat di wilayahnya dan bertujuan membantu mereka yang kurang mampu untuk merayakan pernikahan.
Prosedur sulit
Pernikahan massal juga dilaksanakan untuk membantu pasangan yang merasa kesusahan dengan prosedur pencatatan yang dirasa berbelit-belit. Pengurusan prosedur pencatatan nikah di Kantor Urusan Agama harus melalui tahap-tahap yang terkadang merepotkan orang-orang yang ingin mencatatkan perkawinannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar